"Kana, ada telepon dari Monica.
Ayo, turun!" teriakan Mama memang keras bahkan anjing tetangga sebelah
terkaget karenanya. Aku bergegas turun dengan otakku yang berputar, berpikir
kenapa Monica tidak menelepon di HP-ku. "Halo," jawabku di telepon
saat teringat kalau HP putihku itu sedang 'mengisi tenaga' . Suara riang yang
khas terdengar dari telepon rumahku,"Halo juga. Hei,hei, bagaimana tadi
saat kalian pulang bersama? Hmm... Ayo ceritakan," dia memohon seakan itu
adalah permintaannya sebelum dunia kiamat. Aku menghela napasku panjang sebelum
membalas,"Tidak ada yang spesial, paparazzi. Apa kamu meneleponku
hanya untuk mengumpulkan berita tidak penting seperti itu?" Aku mendengar
Monica bergumam tentang sesuatu. "Hei, jangan seperti itu, aku hanya ingin
tahu. Nah, kembali ke tujuan semulaku meneleponmu, besok kita berangkat bersama
ya, ya?"
"Biar kutebak, ada masalah lagi
dengan sopirmu itu?"
"Tidak ada, aku hanya ingin
berangkat bersamamu. Ayolah, sudah lama sekali kita tidak berangkat sama-sama
kan? Atau jangan-jangan kamu sudah ada janji berangakat dengan Alley
besok?"
"Tidak ada, baiklah kalau itu
maumu. Besok pagi aku akan ke rumahmu,"
"Eh, tidak usah, aku saja yang ke
rumahmu. Tenang saja, aku akan datang pagi. Eh, sudah dulu ya, daah..."
"Dah," aku menutup telepon
itu dan beranjak naik ke kamarku lagi. "Apa yang kalian bicarakan?"
tanya Mama tiba-tiba. "Besok Monica akan datang ke sini, nanti kami akan
berangkat sama-sama," jawabku malas lalu menaiki anak tangga keenam. Mama
diam sejenak melihatku,"Beritahu Alley ya." Aku berbalik, menatap
Mama dengan satu alis terangkat. "Dia bilang pada mama kalau besok dia mau
menjemputmu," setelah mengucapkan itu Mama kembali ke dapur, melanjutkan
pekerjaannya yang tertinggal. Aku menatap tempat Mama berdiri yang kini kosong.
Kenapa dia tidak memberitahuku, pikirku. Tidak lama aku naik ke kamarku,
berhenti berpikir tentang harapan yang terbesit di kepalaku. Dia tidak mungkin
menyukaiku, dulu juga dia bilang kalau aku ini sudah seperti adiknya. Entah
kenapa hatiku sakit memikirkan kenangan saat kami masih TK. Saat aku masih
kecil, pikiran kalau Alley menyayangiku layaknya seorang adik perempuan
membuatku senang, tapi sekarang justru kenangan itu yang membuat hatiku sakit.
Aku menjatuhkan badanku ke tempat tidur, menutupi mataku yang basah dengan bantal
dan menangis dalam diam.
****
"Lalu Ce Catherine memarahinya.
Aku takut sekali melihat muka Ce Cath, benar-benar seram. Tapi Ko David juga
salah, masa mengganggu latihan kami. Hei, kamu dengar, Kana?"
Aku menguap lebar dan menghela napas,
tidak mendengar curhat Monica.
"Kana? Oi," dia memegang
pundakku dan mengguncangnya. Mataku terbuka lebar lalu
menatapnya,"Apa?"
"Kamu masih mengantuk, ya.
Pikiranmu juga melayang. Lho, matamu bengkak. Kemarin kamu nangis?" Aku
hanya menggelengkan kepala dan tersenyum lemah. Monica mengerti kalau aku tidak
mau bicara jadi dia hanya menepuk kepalaku. Tangannya menggandeng tanganku
dengan kuat. Dalam hati aku bersyukur punya teman sepertinya.
****
Lorong kelas delapan memang ramai
setiap pagi maupun saat istirahat. Aku dan Monica berjalan melewati anak - anak
yang berkumpul sambil membicarakan sesuatu yang mereka sukai. Ada anak - anak
perempuan yang bergosip tentang kakak - kakak kelas SMA, anak - anak laki-laki
berbicara tentang game online yang mereka mainkan kemarin. Aku masuk ke
kelas menyusul Monica yang tiba - tiba berhenti. Aku kaget, untungnya aku
berhenti sebelum membenturnya. Aku melihat anak - anak kelasku yang melihat ke
arahku dengan senyuman dan bisik-bisik yang tidak jelas. "Monica, ada apa
ini?" bisikku pada teman baikku."Coba kamu lihat sendiri,"
Monica menyamping membiarkan aku melihat tempat mejaku berada. Jantungku
berdetak cepat seakan aku sedang berlari, melihat apa yang dimaksud Monica. Di
atas mejaku, terbungkus rapi sebagai buket kecil, setangkai tulip merah yang
terlihat segar dan selembar kertas kecil yang terlipat rapi menunggu akan
kedatanganku. Jujur saja, aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Aku mendekati
buket tulip itu dengan tatapan anak - anak kelasku yang tersenyum - senyum
seakan melihat tontonan menarik. Aku mengamati tulip merah di tanganku itu.
Bunga itu terlihat ceria disinari cahaya matahari yang hangat dengan warna
merahnya yang mencolok itu. Tulip merah adalah bunga favoritku. Aku menyukainya
sejak melihat foto kebun bunga tulip merah dari nenekku saat dia berlibur ke
Belanda. Hanya orang tua dan kakak perempuanku saja yang tahu tentang hal ini,
bahkan Monica tidak tahu. Lalu siapa yang memberi buket ini? Perhatianku
beralih ke arah kertas kecil yang terlipat rapi. Aku mengambilnya, membuka
lipatannya dan melihat tulisan tangan yang rapi.
Senyummu
di pagi hari selalu memberiku semangat seperti cahaya matahari yang menyinari
bunga ini, meski hari ini aku tidak dapat melihat senyum itu, aku tinggalkan
bunga ini sebagai penggantiku. Terimalah, jantungku tidak mau
berhenti berdetak dengan kencang saat membca tulisan itu. "Jadiii.....
Siapa yang memberimu tulip itu? Siapa?" tanya Monica dengan semangat
membara. Seruan yang serupa juga terdengar di antara anak - anak kelasku. Aku
tidak menoleh saat menjawab,"Entahlah, tidak ada nama maupun inisial, apa
tidak ada yang melihat pemberi buket ini?" Para penonton yang tadi
penasaran itu kini terdiam, saling melihat orang di sebelah mereka.
"Kurasa tidak ada yang tahu dari mana pemberi bunga ini, Kana.
Berarti...kamu punya penggemar rahasia!" teriak Monica dengan sangat
senang. Anak - anak yang lain juga bersorak dan tertawa. Mereka memberiku
selamat, aku menerimanya dengan senang hati lalu aku melihat bunga tulip merah
di mejaku. Alley, nama itu terbesit di pikiranku, tapi aku menghilangkan
pikiran sekaligus harapan itu. Harapan yang sangat kuinginkan untuk menjadi
kenyataan...