Kamis, 26 April 2012

Red Tulip - Mysterious Flower Giver

"Kana, ada telepon dari Monica. Ayo, turun!" teriakan Mama memang keras bahkan anjing tetangga sebelah terkaget karenanya. Aku bergegas turun dengan otakku yang berputar, berpikir kenapa Monica tidak menelepon di HP-ku. "Halo," jawabku di telepon saat teringat kalau HP putihku itu sedang 'mengisi tenaga' . Suara riang yang khas terdengar dari telepon rumahku,"Halo juga. Hei,hei, bagaimana tadi saat kalian pulang bersama? Hmm... Ayo ceritakan," dia memohon seakan itu adalah permintaannya sebelum dunia kiamat. Aku menghela napasku panjang sebelum membalas,"Tidak ada yang spesial, paparazzi. Apa kamu meneleponku hanya untuk mengumpulkan berita tidak penting seperti itu?" Aku mendengar Monica bergumam tentang sesuatu. "Hei, jangan seperti itu, aku hanya ingin tahu. Nah, kembali ke tujuan semulaku meneleponmu, besok kita berangkat bersama ya, ya?"
"Biar kutebak, ada masalah lagi dengan sopirmu itu?"
"Tidak ada, aku hanya ingin berangkat bersamamu. Ayolah, sudah lama sekali kita tidak berangkat sama-sama kan? Atau jangan-jangan kamu sudah ada janji berangakat dengan Alley besok?"
"Tidak ada, baiklah kalau itu maumu. Besok pagi aku akan ke rumahmu,"
"Eh, tidak usah, aku saja yang ke rumahmu. Tenang saja, aku akan datang pagi. Eh, sudah dulu ya, daah..."
"Dah," aku menutup telepon itu dan beranjak naik ke kamarku lagi. "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Mama tiba-tiba. "Besok Monica akan datang ke sini, nanti kami akan berangkat sama-sama," jawabku malas lalu menaiki anak tangga keenam. Mama diam sejenak melihatku,"Beritahu Alley ya." Aku berbalik, menatap Mama dengan satu alis terangkat. "Dia bilang pada mama kalau besok dia mau menjemputmu," setelah mengucapkan itu Mama kembali ke dapur, melanjutkan pekerjaannya yang tertinggal. Aku menatap tempat Mama berdiri yang kini kosong. Kenapa dia tidak memberitahuku, pikirku. Tidak lama aku naik ke kamarku, berhenti berpikir tentang harapan yang terbesit di kepalaku. Dia tidak mungkin menyukaiku, dulu juga dia bilang kalau aku ini sudah seperti adiknya. Entah kenapa hatiku sakit memikirkan kenangan saat kami masih TK. Saat aku masih kecil, pikiran kalau Alley menyayangiku layaknya seorang adik perempuan membuatku senang, tapi sekarang justru kenangan itu yang membuat hatiku sakit. Aku menjatuhkan badanku ke tempat tidur, menutupi mataku yang basah dengan bantal dan menangis dalam diam.
****
"Lalu Ce Catherine memarahinya. Aku takut sekali melihat muka Ce Cath, benar-benar seram. Tapi Ko David juga salah, masa mengganggu latihan kami. Hei, kamu dengar, Kana?"
Aku menguap lebar dan menghela napas, tidak mendengar curhat Monica.
"Kana? Oi," dia memegang pundakku dan mengguncangnya. Mataku terbuka lebar lalu menatapnya,"Apa?"
"Kamu masih mengantuk, ya. Pikiranmu juga melayang. Lho, matamu bengkak. Kemarin kamu nangis?" Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum lemah. Monica mengerti kalau aku tidak mau bicara jadi dia hanya menepuk kepalaku. Tangannya menggandeng tanganku dengan kuat. Dalam hati aku bersyukur punya teman sepertinya.
****
Lorong kelas delapan memang ramai setiap pagi maupun saat istirahat. Aku dan Monica berjalan melewati anak - anak yang berkumpul sambil membicarakan sesuatu yang mereka sukai. Ada anak - anak perempuan yang bergosip tentang kakak - kakak kelas SMA, anak - anak laki-laki berbicara tentang game online yang mereka mainkan kemarin. Aku masuk ke kelas menyusul Monica yang tiba - tiba berhenti. Aku kaget, untungnya aku berhenti sebelum membenturnya. Aku melihat anak - anak kelasku yang melihat ke arahku dengan senyuman dan bisik-bisik yang tidak jelas. "Monica, ada apa ini?" bisikku pada teman baikku."Coba kamu lihat sendiri," Monica menyamping membiarkan aku melihat tempat mejaku berada. Jantungku berdetak cepat seakan aku sedang berlari, melihat apa yang dimaksud Monica. Di atas mejaku, terbungkus rapi sebagai buket kecil, setangkai tulip merah yang terlihat segar dan selembar kertas kecil yang terlipat rapi menunggu akan kedatanganku. Jujur saja, aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Aku mendekati buket tulip itu dengan tatapan anak - anak kelasku yang tersenyum - senyum seakan melihat tontonan menarik. Aku mengamati tulip merah di tanganku itu. Bunga itu terlihat ceria disinari cahaya matahari yang hangat dengan warna merahnya yang mencolok itu. Tulip merah adalah bunga favoritku. Aku menyukainya sejak melihat foto kebun bunga tulip merah dari nenekku saat dia berlibur ke Belanda. Hanya orang tua dan kakak perempuanku saja yang tahu tentang hal ini, bahkan Monica tidak tahu. Lalu siapa yang memberi buket ini? Perhatianku beralih ke arah kertas kecil yang terlipat rapi. Aku mengambilnya, membuka lipatannya dan melihat tulisan tangan yang rapi.
Senyummu di pagi hari selalu memberiku semangat seperti cahaya matahari yang menyinari bunga ini, meski hari ini aku tidak dapat melihat senyum itu, aku tinggalkan bunga ini sebagai penggantiku. Terimalah, jantungku tidak mau berhenti berdetak dengan kencang saat membca tulisan itu. "Jadiii..... Siapa yang memberimu tulip itu? Siapa?" tanya Monica dengan semangat membara. Seruan yang serupa juga terdengar di antara anak - anak kelasku. Aku tidak menoleh saat menjawab,"Entahlah, tidak ada nama maupun inisial, apa tidak ada yang melihat pemberi buket ini?" Para penonton yang tadi penasaran itu kini terdiam, saling melihat orang di sebelah mereka. "Kurasa tidak ada yang tahu dari mana pemberi bunga ini, Kana. Berarti...kamu punya penggemar rahasia!" teriak Monica dengan sangat senang. Anak - anak yang lain juga bersorak dan tertawa. Mereka memberiku selamat, aku menerimanya dengan senang hati lalu aku melihat bunga tulip merah di mejaku. Alley, nama itu terbesit di pikiranku, tapi aku menghilangkan pikiran sekaligus harapan itu. Harapan yang sangat kuinginkan untuk menjadi kenyataan...

2 komentar:

  1. >0<b apik pomm !
    lanjutkan lagii !! penasaran sapa sing ngasi bunga 0q0

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thx :D
      yah kalo lagi ada inspirasi y u-nown ;)
      nti di post selanjutnya ketahuan kok :D

      Hapus