Kamis, 28 Juni 2012

Love In My Eyes....

In my life
I don't want to feel this
Don't want to know about it
Don't want to be with it
But who am I ?
I'm still human you know
No matter when
No matter where
I will feel it
No matter how i want it
No matter how i hate it
I will experience it
Why you ask
Cause i don't want to feel the bitter
Cause i don't want to let my tears fall
Cause i don't want to be hurt so much
Stupid isn't it ?
Yeah I'm stupid
Even though i know the sweetness behind the bitter
Even though i know the smile after the tears
Even though i know the happiness behind the hurting
And I'm also a liar
No matter how i try to dodge it
I also catch it
No matter how i try to hide it
I also search for it
Crazy right ?
But one thing I know
That we will feel it anytime, anywhere
So I guess
I will just enjoy how it taste to me
The one who like chocolate
First there is bitter and then sweetness
The one who like a rose
So beautiful but has tons of thorns
Cause we crave for the affection it gives
Right ?

Selasa, 05 Juni 2012

My Only Snow White - Heartbeat

“Jadi kamu bisa datang ke rumahku besok?”
“Tentu saja, kamu sudah siapkan semuanya?”
“Tenang saja, sudah aku siapkan semuanya. Jangan telat, ya,”
“Iya, aku tahu. Jangan beritahu Kana.”
“Tidak akan. Sudah dulu, ya. Dah!”
“Dah.” Aku menutup telepon dari Monica. Dia sangat antusias menyambut esok hari sampai – sampai dia mengingatkanku untuk datang ke rumahnya empat kali seharian itu. Besok kami, aku dan Monica, akan mengadakan pesta kejutan untuk merayakan seminggu Kana berpacaran dengan Alley (Red Tulip). Mungkin itu terdengar konyol tapi tidak masalah, aku senang merayakan sesuatu dengan teman – temanku. Aku merebahkan diri ke tempat tidur, memikirkan tentang persiapan lomba drama yang sudah dimulai sejak kemarin lusa. Kami akan melakukan drama ‘Snow White’. Aku tersenyum masam mengingat bagaimana Caesar menyarankan drama itu dan seenaknya menentukan kalau aku yang menjadi Snow White dalam drama itu. Yang benar saja, aku sudah muak dengan julukan Snow White dan sekarang aku harus memerankan Snow White di drama nanti. Memikirkannya saja sudah membuatku marah. Bunyi berisik HP-ku meredakan amarahku yang datang dengan cepat. Aku melihat nomor yang tertera di layar dengan satu alis terangkat. Aku tidak punya nomor ini yang berarti aku tidak tahu siapa itu. Dengan enggan dan ragu, aku memencet tombol jawab. “Halo?” suara yang sedikit rendah itu terdengar tidak asing… “Shirayuki-sama, apakah Yang Mulia di situ?” suara itu bertanya penuh canda yang menurutku tidak lucu. Yap, itu Caesar. Sialan, dari mana dia tahu nomorku! “Ooh, Shirayuki-sama. Hamba menunggu.”
“Apa?” ucapku geram.
“Hee… jadi ini memang nomormu.”
“Langsung ke intinya saja, Caesar!” seruku berusaha menahan amarah.
“Jangan marah – marah, Yuki. Nanti cepat tua, lho.” Aku bisa mendengar anak laki – laki itu terkekeh pelan.
“Tidak lucu. Kalau kamu tidak mau berbicara aku akan menutup telepon.”
“Oh, lakukan saja. Aku tetap bisa berbicara denganmu.” Apa maksudnya?
“Ayo, lakukan saja,” ucapnya dengan santai.
“Baik” aku langsung menutup telepon itu tanpa rasa menyesal. Malah aku puas tidak perlu berbicara dengan orang menyebalkan itu. Tanpa sadar aku mendengus keras dan memejamkan mata untuk beristirahat. Belum sampai satu menit aku memejamkan mata, aku mendengar pintu kamarku terbuka. Aku langsung terduduk di atas kasur. Detik berikutnya aku terbelalak menatap tamu tak diundang yang masuk ke kamarku.
“Wah, jadi kamar Yuki-sama memang kamar untuk tuan putri. Aku tidak menyangka kalau kamarmu ini berwarna merah muda dan tempat tidurmu penuh dengan boneka – boneka.”
Caesar melangkah dengan santai di dalam kamarku, terlalu santai hingga membuat amarahku memuncak dan tidak bisa dipendam lagi. Aku meraih apapun yang ada di dekatku lalu dengan sekuat tenaga melempar ke arah anak laki – laki yang sekarang mendekati meja belajarku. “KELUAR!” teriakku marah sambil terus melempar bantal dan boneka ke Caesar. “Aduh. Hei, hentikan.” ucapnya setelah bantalku mengenainya diikuti boneka beruangku. “Cepat keluar!” teriakku lagi masih penuh amarah. Tapi teriakanku itu tidak dihiraukannya. Dia mulai menghindari lemparanku dan berjalan ke arahku. Aku meraba – raba di sekitarku lalu sadar kalau tidak ada lagi yang bisa aku lempar, selain HP.
“Sekarang, bagaimana kalau kamu menenangkan diri sementara aku mengambil bonekamu yang berserakan, ya?” tanpa menunggu jawabanku dia mulai mengambil boneka anjing di dekatnya. Aku terdiam kaku masih dengan amarah yang sama. Langkah kaki terburu – buru terdengar di tangga sebelum wajah khawatir Bibi Margareth muncul di depan pintu. “Yuki, ada ap…” Bibi Margareth sepertinya terkejut melihat Caesar di kamarku, apalagi dia mengambil boneka dan bantal di lantai. Caesar sendiri belum sadar akan keberadaan Bi Margareth, dia masih tekun mengambil boneka dan bantal dari lantai. “Kamu siapa?” suara yang keluar dari bibir yang mulai keriput itu terdengar tegas dan tajam. Caesar menengadah menatap wanita yang menatapnya tajam itu dengan terkejut. “Kamu siapa?” ulang Bi Margareth karena tidak mendapat jawaban. Caesar langsung berdiri menghadap wanita yang sudah kukenal baik. “Aku… namaku Caesar. Aku teman sekelasnya Yuki.” Caesar terlihat sopan saat menjawab pertanyaan Bi Margareth. Lebih sopan daripada yang aku kira. Setelah mendengar jawaban yang cukup memuaskan, sebuah senyum menghiasi wajah Bi Margareth. “Oh, begitu. Salam kenal, namaku Margareth, pengurus rumah ini.” Bi Margareth tampak lebih tenang sekarang. “Yuki,” dia menoleh padaku,”Kenapa kamu berteriak seperti orang gila terhadapnya?” Bagus, sekarang aku akan mendapat ceramahnya. “Dia kan teman sekelasmu, memang kenapa kalau dia mengunjungimu. Itu sama sekali tidak salah, tapi kenapa kamu malah meneriakinya seperti melihat hantu.” Karena dia lebih menjengkelkan daripada orang dan hantu manapun, batinku tapi tidak kuucapkan. Bi Margareth hendak melanjutkan ceramahnya ketika Caesar menyelanya dengan sangat sopan,”Aku yang salah, Bi. Aku seenaknya masuk ke rumah ini dan aku juga seenaknya masuk ke kamar Yuki. Makanya tidak aneh kalau Yuki terkejut dan berteriak. Dia tidak salah.” Aku memang tidak salah, kalau kamu tidak masuk seenaknya dengan santai aku tidak akan membuat tenggorokanku sakit karena berteriak, batinku lagi. Bi Margareth menatap Caesar lalu menatapku dan tersenyum. “Kalau begitu aku tidak akan memperpanjang masalah ini lagi. Silahkan saja kalian berbicara dulu. Kamu mau minum apa, Caesar?” Bi Margareth menatap Caesar dengan ramah tanpa memedulikan tatapan tajamku. “Air mineral saja, Bi.” Lagi – lagi, dengan sangat sopan anak laki – laki itu menjawab pertanyaan Bi Margareth.
Akhirnya Bi Margareth undur diri meninggalkan aku dan anak laki – laki menyebalkan itu sendiri. Aku masih terdiam dengan tatapan membunuh yang kau tujukan pada satu – satunya orang di kamarku. Caesar melanjutkan pekerjaannya yang tertunda sebelum dia menatapku. Lucunya, dia menatapku lembut dan menurutku itu menjijikkan. “Apa?” tanyaku kasar karena dia terus menatapku dengan pandangan yang tidak membuatku merasa nyaman. Dia berjalan ke arahku dan duduk di pinggir tempat tidurku, membelakangiku. “Aku pikir dia ibumu.” Dia tersenyum kecil saat mengatakan itu. Aku memberengut tidak mau membalas ucapannya. Kami terdiam cukup lama lalu Caesar memulai percakapan.
“Kamu jarang keluar rumah, ya?”
“Memang itu urusanmu.”
“Menurutku itu urusanku.” Aku merasa suhu tubuhku meningkat sedikit mendengar ucapannya.
“Terus kenapa kamu jarang keluar rumah?”
“Karena aku tidak punya tujuan untuk harus keluar rumah.”
“Kalau begitu buat saja tujuan itu.”
“Hah?” apa lagi maksud orang ini.
“Seperti ‘Aku mau melihat wajah Caesar yang sudah membuatku berteriak kagum’ atau ‘Aku mau meninju Caesar yang sudah membuat wajahku jelek’ kalau begitu kamu mau keluar rumah kan?” candanya sambil menatapku dengan mata yang berkilat senang.
Mau tidak mau, senyumku mengembang dan amarahku menguap ke udara. “Jangan cuma tersenyum, ayo tertawa. Kamu mau membuat calon komedian terkenal ini malu karena tidak bisa membuat seorang putri tertawa?” guraunya lagi. Aku menahan tawaku dengan menundukkan kepala tapi dia tidak mau menyerah. Saat aku pikir dia tidak bercanda lagi, aku mengangkat kepalaku dan mendapati dia menunjukkan wajah yang konyol. Aku tidak dapat menahan tawaku lagi. Aku tertawa sambil memukul pelan lengannya. Caesar berhenti melakukan hal itu lalu menatapku yang masih tertawa dengan senyuman. Saat aku bisa menghentikan tawaku, dia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Pipiku memanas dengan cepat karena menatap wajahnya yang terlalu dekat. Dia tersenyum sebelum membuat jantungku tidak normal.
“Kalau kamu tertawa, kamu terlihat seratus kali lebih cantik daripada Snow White asli, makanya sering – seringlah tertawa. Kalau kamu tidak bisa tertawa, panggil komedianmu ini. Mengerti?” dia menyentuh kedua pipiku yang panas dengan senyumnya yang mempesona.
O oh, jantungku tidak mau berhenti berdetak kencang. Apa yang terjadi denganku?

Senin, 04 Juni 2012

No Thing To Type Part 3


Iwamoto Akira sedang menunggu pesawatnya di Bandara Narita. Dia akan pergi ke Surabaya sebentar lagi. Dalam hati dia kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa menahan Ichii. Dia sudah mengenal Ichii begitu lama dan sudah menganggap Ichii sebagai adiknya sendiri. Ichii tidak bisa bersabar, selalu ingin lebih cepat dari jadwal, apalagi jadwalnya hari ini hanya sedikit dan membosankan untuknya. Padahal dia pergi ke Surabaya hanya karena pemotretan cover majalah yang bahkan merupakan permintaan temannya yang tidak bisa datang. Pemotretan itu juga tidak sepenting pekerjaannya yang lain, tapi mau bagaimana lagi, Ichii sudah pergi dan Akira punya firasat yang mengatakan kalau aktornya itu pasti sedang bersenang – senang sekarang. Akira tiba – tiba teringat sesuatu yang penting, sebuah pesan  dari Ayah Ichii, Tachibana Kazuma. Wajah laki – laki itu langsung berubah muram dan serius sebelum dia mendengar pengumuman kalau pesawatnya sudah tiba di bandara.
****
“Bagaimana? Kau suka makan malamnya?”
Mereka sedang berjalan pulang setelah makan malam ‘seadanya’ di warung dekat apartemen mereka. “Hmm… Lumayan, apalagi aku ditraktir aktor terkenal.” Kana tersenyum saat menatap Ichii sejenak lalu kembali memerhatikan jalannnya. Gadis itu tidak sadar kalau laki – laki di sebelahnya memandangnya lekat – lekat, dia hanya melanjutkan jalannya yang semakin dekat dengan apartemennya.
****
Panas dan pengap. Dua kata itu menjelaskan gudang kain yang sekarang didatangi Kana dan Elvin. Kedua gadis itu ditugaskan Bu Donna untuk mengambil kain – kain yang dibutuhkan oleh para penjahit yang mulai kekurangan kain. ‘Korban - korban tante’ itu –sebutan untuk orang yang sering disuruh – suruh oleh Bu Donna– mulai memasuki gudang besar yang penuh dengan gulungan – gulungan kain bertumpuk di sana – sini. Tanpa banyak bicara, mereka menemui penjaga sekaligus pengurus gudang itu untuk meminta kain yang dibutuhkan.
Keringat mulai menetes saat ‘korban – korban tante’ itu menunggu sang pengurus mengambil gulungan kain. Elvin menenggak air mineralnya untuk kesekian kalinya dan Kana hanya mengipas wajahnya dengan tangan kosong. “Aah… Aku kan melamar bekerja di situ bukan untuk menjadi pelayan tante tua itu. Aku kan ingin menjadi desainer atau setidaknya menjahit baju, tapi nyatanya dia malah memberi kita pekerjaan seperti ini,” keluh Elvin dengan suara yang keras. Kana hanya menatap sahabatnya itu dengan anggukan setuju. “Sampai kapan kita akan begini terus,” lanjutnya dengan gumaman yang tidak bisa didengar Kana. “Mbak,” kedua gadis yang duduk santai itu menoleh ke dalam gudang,”Ini kainnya, mau saya taruh di mobil juga?” tawar Pak Kanto, si pengurus gudang yang sudah cukup tua. “Iya, makasih ya, Pak,” balas Elvin lalu mengambil botol air lain dari tasnya. Kana berusaha menatap langit yang susah dilihatnya karena terik matahari namun dia menyerah dan mengambil telepon genggamnya dari dalam tas. Dia mulai asyik mengetik pesan singkat hingga tidak sadar sahabat yang ada di hadapannya menatapnya penasaran. Setelah memencet tombol kirim, barulah Kana melihat wajah Elvin yang diberi senyum lengkap dengan sepasang mata yang bersinar ingin tahu. “Kana sayang,” mulai Elvin dengan menatap Kana. Ah, dia akan mulai lagi, pikir Kana. “Siapa yang kamu kirimi pesan? Seorang laki – laki?” tatapan Elvin tidak lepas barang sedetik pun dari Kana,”Apa dia tampan? Tinggi? Apa pekerjaannya? Apa dia kaya? Di mana kalian bertemu?” Benar kan, pikir Kana lalu melihat wajah sahabatnya yang penuh dengan beribu tanda tanya. Pertanyaan demi pertanyaan keluar lancar seperti air yang mengalir deras, sangat deras hingga Kana hanya bisa diam. Saat Pak Kanto datang menghampiri kedua gadis itu untuk memberitahu bahwa dia sudah menaruh kain – kain di mobil, barulah Elvin berhenti bertanya.
“Sudah selesai?” Kana bertanya dengan tenang. Mereka sudah ada di dalam mobil dan akan berangkat ke tempat penjahit butik Bu Donna.
“Yap, jadi ceritakan padaku sedetil mungkin.” Elvin bertanya tanpa menatap Kana yang ada di sebelahnya. Matanya fokus pada jalan di hadapannya.
“Baiklah, nyonya,” canda Kana,“Aku baru bertemu dengannya dua minggu yang lalu. Dia tinggi dan cukup tampan,” Kana bisa melihat kalau Elvin tersenyum lebar saat Kana menyebut kata ‘tampan’. “Tapi dia menjadi sangat sibuk setelah temannya datang dengan segala ‘nasihat’ yang dipunyai teman akrabnya itu. Jadi aku jarang bertemu dengannya dan hanya bisa berkomunikasi melalui pesan singkat saja, itupun kalau dia sedang ada waktu luang.” Kana berhenti sejenak untuk minum baru melanjutkan,”Dia baik dan ramah. Kami cepat akrab. Dia seperti… memikatku dengan perlahan – lahan dan sekarang aku selalu ingat dengannya setiap kali aku melamun atau sedang senggang. Aneh kan?”
“Itu bukan aneh, tapi kamu JATUH CINTA padanya!” Elvin hampir menabrak sebatang pohon karena melepas pandangannya dari jalanan.
“Lihat ke jalan, Elvin!” Kana merasa jantungnya melompat keluar dari dadanya karena kecerobohan sang pengemudi. Tidak makan waktu yang lama, Elvin kembali menguasai setir dan melihat ke jalan lagi.
“Kamu jatuh cinta padanya, Kana. Itu yang terjadi.” ucap Elvin kembali memulai pembicaraan. Kana hanya mendengus pelan. “Kau tidak percaya?” ada sedikit kekecewaan saat Elvin menanyakan hal itu. “Tentu saja, karena yang aku rasakan padanya sama seperti yang aku rasakan pada setiap laki – laki yang aku kenal. Aku tidak merasakan jantungku berdebar – debar, wajahku memanas, atu pipiku memerah saat bertemu dengannya,” Kana sangat percaya diri dengan jawabannya. Dia memang tidak merasakan tiga hal yang bertanda dia jatuh cinta pada Ichii, dia hanya menganggap laki – laki itu sedikit mempesona disbanding laki – laki yang dikenalnya selama ini. Hanya sedikit, ucap Kana dalam hati. “Oh, terserahlah. Tapi kalau kamu memang tidak jatuh cinta padanya, jelaskan padaku kenapa kamu selalu mengingatnya?” rupanya Elvin belum mau menyerah setelah mendengar jawaban Kana. “Karena dia bilang kalau aku merasa bosan aku boleh mengirimi dia pesan atau meneleponnya untuk teman bicara.” Ya, itu yang Ichii katakan sehari sebelum dia menghilang dari apartemennya –yang ternyata ‘ditarik paksa’ oleh manajernya– untuk mulai melakukan tujuan dia datang ke Surabaya. “Hanya itu?” selidik Elvin. Kana mengangguk lalu sadar kalau temannya itu tidak dapat melihat anggukannya. “Ya, hanya itu. Kami hanya teman,” tegas Kana yakin. Elvin tersenyum mendengar jawaban sahabatnya, membuat Kana penasaran dengan makna senyum itu.
“Kita lihat saja nanti, sweetie. Kita lihat saja…” ucapan itu mengakhiri pembicaraan kedua gadis itu yang akhirnya sampai ke tujuan mereka.