Iwamoto Akira sedang menunggu pesawatnya
di Bandara Narita. Dia akan pergi ke Surabaya sebentar lagi. Dalam hati dia
kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa menahan Ichii. Dia sudah mengenal
Ichii begitu lama dan sudah menganggap Ichii sebagai adiknya sendiri. Ichii
tidak bisa bersabar, selalu ingin lebih cepat dari jadwal, apalagi jadwalnya
hari ini hanya sedikit dan membosankan untuknya. Padahal dia pergi ke Surabaya
hanya karena pemotretan cover majalah yang bahkan merupakan permintaan temannya
yang tidak bisa datang. Pemotretan itu juga tidak sepenting pekerjaannya yang
lain, tapi mau bagaimana lagi, Ichii sudah pergi dan Akira punya firasat yang
mengatakan kalau aktornya itu pasti sedang bersenang – senang sekarang. Akira
tiba – tiba teringat sesuatu yang penting, sebuah pesan dari Ayah Ichii, Tachibana Kazuma. Wajah laki
– laki itu langsung berubah muram dan serius sebelum dia mendengar pengumuman
kalau pesawatnya sudah tiba di bandara.
****
“Bagaimana? Kau
suka makan malamnya?”
Mereka sedang
berjalan pulang setelah makan malam ‘seadanya’ di warung dekat apartemen
mereka. “Hmm… Lumayan, apalagi aku ditraktir aktor terkenal.” Kana tersenyum
saat menatap Ichii sejenak lalu kembali memerhatikan jalannnya. Gadis itu tidak
sadar kalau laki – laki di sebelahnya memandangnya lekat – lekat, dia hanya
melanjutkan jalannya yang semakin dekat dengan apartemennya.
****
Panas dan pengap. Dua
kata itu menjelaskan gudang kain yang sekarang didatangi Kana dan Elvin. Kedua
gadis itu ditugaskan Bu Donna untuk mengambil kain – kain yang dibutuhkan oleh
para penjahit yang mulai kekurangan kain. ‘Korban - korban tante’ itu –sebutan
untuk orang yang sering disuruh – suruh oleh Bu Donna– mulai memasuki gudang
besar yang penuh dengan gulungan – gulungan kain bertumpuk di sana – sini. Tanpa
banyak bicara, mereka menemui penjaga sekaligus pengurus gudang itu untuk
meminta kain yang dibutuhkan.
Keringat mulai
menetes saat ‘korban – korban tante’ itu menunggu sang pengurus mengambil
gulungan kain. Elvin menenggak air mineralnya untuk kesekian kalinya dan Kana
hanya mengipas wajahnya dengan tangan kosong. “Aah… Aku kan melamar bekerja di
situ bukan untuk menjadi pelayan tante tua itu. Aku kan ingin menjadi desainer
atau setidaknya menjahit baju, tapi nyatanya dia malah memberi kita pekerjaan
seperti ini,” keluh Elvin dengan suara yang keras. Kana hanya menatap
sahabatnya itu dengan anggukan setuju. “Sampai kapan kita akan begini terus,”
lanjutnya dengan gumaman yang tidak bisa didengar Kana. “Mbak,” kedua gadis
yang duduk santai itu menoleh ke dalam gudang,”Ini kainnya, mau saya taruh di
mobil juga?” tawar Pak Kanto, si pengurus gudang yang sudah cukup tua. “Iya,
makasih ya, Pak,” balas Elvin lalu mengambil botol air lain dari tasnya. Kana
berusaha menatap langit yang susah dilihatnya karena terik matahari namun dia
menyerah dan mengambil telepon genggamnya dari dalam tas. Dia mulai asyik
mengetik pesan singkat hingga tidak sadar sahabat yang ada di hadapannya
menatapnya penasaran. Setelah memencet tombol kirim, barulah Kana melihat wajah
Elvin yang diberi senyum lengkap dengan sepasang mata yang bersinar ingin tahu.
“Kana sayang,” mulai Elvin dengan menatap Kana. Ah, dia akan mulai lagi, pikir Kana. “Siapa yang kamu kirimi
pesan? Seorang laki – laki?” tatapan Elvin tidak lepas barang sedetik pun dari
Kana,”Apa dia tampan? Tinggi? Apa pekerjaannya? Apa dia kaya? Di mana kalian
bertemu?” Benar kan, pikir Kana lalu
melihat wajah sahabatnya yang penuh dengan beribu tanda tanya. Pertanyaan demi
pertanyaan keluar lancar seperti air yang mengalir deras, sangat deras hingga
Kana hanya bisa diam. Saat Pak Kanto datang menghampiri kedua gadis itu untuk
memberitahu bahwa dia sudah menaruh kain – kain di mobil, barulah Elvin
berhenti bertanya.
“Sudah selesai?”
Kana bertanya dengan tenang. Mereka sudah ada di dalam mobil dan akan berangkat
ke tempat penjahit butik Bu Donna.
“Yap, jadi
ceritakan padaku sedetil mungkin.” Elvin bertanya tanpa menatap Kana yang ada
di sebelahnya. Matanya fokus pada jalan di hadapannya.
“Baiklah, nyonya,”
canda Kana,“Aku baru bertemu dengannya dua minggu yang lalu. Dia tinggi dan
cukup tampan,” Kana bisa melihat kalau Elvin tersenyum lebar saat Kana menyebut
kata ‘tampan’. “Tapi dia menjadi sangat sibuk setelah temannya datang dengan
segala ‘nasihat’ yang dipunyai teman akrabnya itu. Jadi aku jarang bertemu
dengannya dan hanya bisa berkomunikasi melalui pesan singkat saja, itupun kalau
dia sedang ada waktu luang.” Kana berhenti sejenak untuk minum baru
melanjutkan,”Dia baik dan ramah. Kami cepat akrab. Dia seperti… memikatku
dengan perlahan – lahan dan sekarang aku selalu ingat dengannya setiap kali aku
melamun atau sedang senggang. Aneh kan?”
“Itu bukan aneh,
tapi kamu JATUH CINTA padanya!” Elvin hampir menabrak sebatang pohon karena
melepas pandangannya dari jalanan.
“Lihat ke jalan,
Elvin!” Kana merasa jantungnya melompat keluar dari dadanya karena kecerobohan
sang pengemudi. Tidak makan waktu yang lama, Elvin kembali menguasai setir dan
melihat ke jalan lagi.
“Kamu jatuh cinta
padanya, Kana. Itu yang terjadi.” ucap Elvin kembali memulai pembicaraan. Kana
hanya mendengus pelan. “Kau tidak percaya?” ada sedikit kekecewaan saat Elvin
menanyakan hal itu. “Tentu saja, karena yang aku rasakan padanya sama seperti yang
aku rasakan pada setiap laki – laki yang aku kenal. Aku tidak merasakan
jantungku berdebar – debar, wajahku memanas, atu pipiku memerah saat bertemu
dengannya,” Kana sangat percaya diri dengan jawabannya. Dia memang tidak
merasakan tiga hal yang bertanda dia jatuh cinta pada Ichii, dia hanya
menganggap laki – laki itu sedikit mempesona disbanding laki – laki yang
dikenalnya selama ini. Hanya sedikit, ucap
Kana dalam hati. “Oh, terserahlah. Tapi kalau kamu memang tidak jatuh cinta
padanya, jelaskan padaku kenapa kamu selalu mengingatnya?” rupanya Elvin belum
mau menyerah setelah mendengar jawaban Kana. “Karena dia bilang kalau aku
merasa bosan aku boleh mengirimi dia pesan atau meneleponnya untuk teman
bicara.” Ya, itu yang Ichii katakan sehari sebelum dia menghilang dari
apartemennya –yang ternyata ‘ditarik paksa’ oleh manajernya– untuk mulai
melakukan tujuan dia datang ke Surabaya. “Hanya itu?” selidik Elvin. Kana
mengangguk lalu sadar kalau temannya itu tidak dapat melihat anggukannya. “Ya,
hanya itu. Kami hanya teman,” tegas Kana yakin. Elvin tersenyum mendengar
jawaban sahabatnya, membuat Kana penasaran dengan makna senyum itu.
“Kita lihat saja
nanti, sweetie. Kita lihat saja…”
ucapan itu mengakhiri pembicaraan kedua gadis itu yang akhirnya sampai ke tujuan
mereka.
wes suwe nda mampir pom =w=
BalasHapusrasae dari novel ke novel bahasa e tambah apik =w=b
penokohannya (apalagi yg elvin) kerasa =w= tapi sing Ichii agak ditonjolin yaa =w=
satu lagi, bahasa bakune apik =w=b
lanjutkaann !!!
thank you owo
Hapusokey2 nti tak tonjolin kok owo
thank u y owo
kau juga lanjutkan y... ;3