Senin, 04 Juni 2012

No Thing To Type Part 3


Iwamoto Akira sedang menunggu pesawatnya di Bandara Narita. Dia akan pergi ke Surabaya sebentar lagi. Dalam hati dia kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa menahan Ichii. Dia sudah mengenal Ichii begitu lama dan sudah menganggap Ichii sebagai adiknya sendiri. Ichii tidak bisa bersabar, selalu ingin lebih cepat dari jadwal, apalagi jadwalnya hari ini hanya sedikit dan membosankan untuknya. Padahal dia pergi ke Surabaya hanya karena pemotretan cover majalah yang bahkan merupakan permintaan temannya yang tidak bisa datang. Pemotretan itu juga tidak sepenting pekerjaannya yang lain, tapi mau bagaimana lagi, Ichii sudah pergi dan Akira punya firasat yang mengatakan kalau aktornya itu pasti sedang bersenang – senang sekarang. Akira tiba – tiba teringat sesuatu yang penting, sebuah pesan  dari Ayah Ichii, Tachibana Kazuma. Wajah laki – laki itu langsung berubah muram dan serius sebelum dia mendengar pengumuman kalau pesawatnya sudah tiba di bandara.
****
“Bagaimana? Kau suka makan malamnya?”
Mereka sedang berjalan pulang setelah makan malam ‘seadanya’ di warung dekat apartemen mereka. “Hmm… Lumayan, apalagi aku ditraktir aktor terkenal.” Kana tersenyum saat menatap Ichii sejenak lalu kembali memerhatikan jalannnya. Gadis itu tidak sadar kalau laki – laki di sebelahnya memandangnya lekat – lekat, dia hanya melanjutkan jalannya yang semakin dekat dengan apartemennya.
****
Panas dan pengap. Dua kata itu menjelaskan gudang kain yang sekarang didatangi Kana dan Elvin. Kedua gadis itu ditugaskan Bu Donna untuk mengambil kain – kain yang dibutuhkan oleh para penjahit yang mulai kekurangan kain. ‘Korban - korban tante’ itu –sebutan untuk orang yang sering disuruh – suruh oleh Bu Donna– mulai memasuki gudang besar yang penuh dengan gulungan – gulungan kain bertumpuk di sana – sini. Tanpa banyak bicara, mereka menemui penjaga sekaligus pengurus gudang itu untuk meminta kain yang dibutuhkan.
Keringat mulai menetes saat ‘korban – korban tante’ itu menunggu sang pengurus mengambil gulungan kain. Elvin menenggak air mineralnya untuk kesekian kalinya dan Kana hanya mengipas wajahnya dengan tangan kosong. “Aah… Aku kan melamar bekerja di situ bukan untuk menjadi pelayan tante tua itu. Aku kan ingin menjadi desainer atau setidaknya menjahit baju, tapi nyatanya dia malah memberi kita pekerjaan seperti ini,” keluh Elvin dengan suara yang keras. Kana hanya menatap sahabatnya itu dengan anggukan setuju. “Sampai kapan kita akan begini terus,” lanjutnya dengan gumaman yang tidak bisa didengar Kana. “Mbak,” kedua gadis yang duduk santai itu menoleh ke dalam gudang,”Ini kainnya, mau saya taruh di mobil juga?” tawar Pak Kanto, si pengurus gudang yang sudah cukup tua. “Iya, makasih ya, Pak,” balas Elvin lalu mengambil botol air lain dari tasnya. Kana berusaha menatap langit yang susah dilihatnya karena terik matahari namun dia menyerah dan mengambil telepon genggamnya dari dalam tas. Dia mulai asyik mengetik pesan singkat hingga tidak sadar sahabat yang ada di hadapannya menatapnya penasaran. Setelah memencet tombol kirim, barulah Kana melihat wajah Elvin yang diberi senyum lengkap dengan sepasang mata yang bersinar ingin tahu. “Kana sayang,” mulai Elvin dengan menatap Kana. Ah, dia akan mulai lagi, pikir Kana. “Siapa yang kamu kirimi pesan? Seorang laki – laki?” tatapan Elvin tidak lepas barang sedetik pun dari Kana,”Apa dia tampan? Tinggi? Apa pekerjaannya? Apa dia kaya? Di mana kalian bertemu?” Benar kan, pikir Kana lalu melihat wajah sahabatnya yang penuh dengan beribu tanda tanya. Pertanyaan demi pertanyaan keluar lancar seperti air yang mengalir deras, sangat deras hingga Kana hanya bisa diam. Saat Pak Kanto datang menghampiri kedua gadis itu untuk memberitahu bahwa dia sudah menaruh kain – kain di mobil, barulah Elvin berhenti bertanya.
“Sudah selesai?” Kana bertanya dengan tenang. Mereka sudah ada di dalam mobil dan akan berangkat ke tempat penjahit butik Bu Donna.
“Yap, jadi ceritakan padaku sedetil mungkin.” Elvin bertanya tanpa menatap Kana yang ada di sebelahnya. Matanya fokus pada jalan di hadapannya.
“Baiklah, nyonya,” canda Kana,“Aku baru bertemu dengannya dua minggu yang lalu. Dia tinggi dan cukup tampan,” Kana bisa melihat kalau Elvin tersenyum lebar saat Kana menyebut kata ‘tampan’. “Tapi dia menjadi sangat sibuk setelah temannya datang dengan segala ‘nasihat’ yang dipunyai teman akrabnya itu. Jadi aku jarang bertemu dengannya dan hanya bisa berkomunikasi melalui pesan singkat saja, itupun kalau dia sedang ada waktu luang.” Kana berhenti sejenak untuk minum baru melanjutkan,”Dia baik dan ramah. Kami cepat akrab. Dia seperti… memikatku dengan perlahan – lahan dan sekarang aku selalu ingat dengannya setiap kali aku melamun atau sedang senggang. Aneh kan?”
“Itu bukan aneh, tapi kamu JATUH CINTA padanya!” Elvin hampir menabrak sebatang pohon karena melepas pandangannya dari jalanan.
“Lihat ke jalan, Elvin!” Kana merasa jantungnya melompat keluar dari dadanya karena kecerobohan sang pengemudi. Tidak makan waktu yang lama, Elvin kembali menguasai setir dan melihat ke jalan lagi.
“Kamu jatuh cinta padanya, Kana. Itu yang terjadi.” ucap Elvin kembali memulai pembicaraan. Kana hanya mendengus pelan. “Kau tidak percaya?” ada sedikit kekecewaan saat Elvin menanyakan hal itu. “Tentu saja, karena yang aku rasakan padanya sama seperti yang aku rasakan pada setiap laki – laki yang aku kenal. Aku tidak merasakan jantungku berdebar – debar, wajahku memanas, atu pipiku memerah saat bertemu dengannya,” Kana sangat percaya diri dengan jawabannya. Dia memang tidak merasakan tiga hal yang bertanda dia jatuh cinta pada Ichii, dia hanya menganggap laki – laki itu sedikit mempesona disbanding laki – laki yang dikenalnya selama ini. Hanya sedikit, ucap Kana dalam hati. “Oh, terserahlah. Tapi kalau kamu memang tidak jatuh cinta padanya, jelaskan padaku kenapa kamu selalu mengingatnya?” rupanya Elvin belum mau menyerah setelah mendengar jawaban Kana. “Karena dia bilang kalau aku merasa bosan aku boleh mengirimi dia pesan atau meneleponnya untuk teman bicara.” Ya, itu yang Ichii katakan sehari sebelum dia menghilang dari apartemennya –yang ternyata ‘ditarik paksa’ oleh manajernya– untuk mulai melakukan tujuan dia datang ke Surabaya. “Hanya itu?” selidik Elvin. Kana mengangguk lalu sadar kalau temannya itu tidak dapat melihat anggukannya. “Ya, hanya itu. Kami hanya teman,” tegas Kana yakin. Elvin tersenyum mendengar jawaban sahabatnya, membuat Kana penasaran dengan makna senyum itu.
“Kita lihat saja nanti, sweetie. Kita lihat saja…” ucapan itu mengakhiri pembicaraan kedua gadis itu yang akhirnya sampai ke tujuan mereka.

2 komentar:

  1. wes suwe nda mampir pom =w=
    rasae dari novel ke novel bahasa e tambah apik =w=b
    penokohannya (apalagi yg elvin) kerasa =w= tapi sing Ichii agak ditonjolin yaa =w=
    satu lagi, bahasa bakune apik =w=b
    lanjutkaann !!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. thank you owo
      okey2 nti tak tonjolin kok owo
      thank u y owo
      kau juga lanjutkan y... ;3

      Hapus