Selasa, 05 Juni 2012

My Only Snow White - Heartbeat

“Jadi kamu bisa datang ke rumahku besok?”
“Tentu saja, kamu sudah siapkan semuanya?”
“Tenang saja, sudah aku siapkan semuanya. Jangan telat, ya,”
“Iya, aku tahu. Jangan beritahu Kana.”
“Tidak akan. Sudah dulu, ya. Dah!”
“Dah.” Aku menutup telepon dari Monica. Dia sangat antusias menyambut esok hari sampai – sampai dia mengingatkanku untuk datang ke rumahnya empat kali seharian itu. Besok kami, aku dan Monica, akan mengadakan pesta kejutan untuk merayakan seminggu Kana berpacaran dengan Alley (Red Tulip). Mungkin itu terdengar konyol tapi tidak masalah, aku senang merayakan sesuatu dengan teman – temanku. Aku merebahkan diri ke tempat tidur, memikirkan tentang persiapan lomba drama yang sudah dimulai sejak kemarin lusa. Kami akan melakukan drama ‘Snow White’. Aku tersenyum masam mengingat bagaimana Caesar menyarankan drama itu dan seenaknya menentukan kalau aku yang menjadi Snow White dalam drama itu. Yang benar saja, aku sudah muak dengan julukan Snow White dan sekarang aku harus memerankan Snow White di drama nanti. Memikirkannya saja sudah membuatku marah. Bunyi berisik HP-ku meredakan amarahku yang datang dengan cepat. Aku melihat nomor yang tertera di layar dengan satu alis terangkat. Aku tidak punya nomor ini yang berarti aku tidak tahu siapa itu. Dengan enggan dan ragu, aku memencet tombol jawab. “Halo?” suara yang sedikit rendah itu terdengar tidak asing… “Shirayuki-sama, apakah Yang Mulia di situ?” suara itu bertanya penuh canda yang menurutku tidak lucu. Yap, itu Caesar. Sialan, dari mana dia tahu nomorku! “Ooh, Shirayuki-sama. Hamba menunggu.”
“Apa?” ucapku geram.
“Hee… jadi ini memang nomormu.”
“Langsung ke intinya saja, Caesar!” seruku berusaha menahan amarah.
“Jangan marah – marah, Yuki. Nanti cepat tua, lho.” Aku bisa mendengar anak laki – laki itu terkekeh pelan.
“Tidak lucu. Kalau kamu tidak mau berbicara aku akan menutup telepon.”
“Oh, lakukan saja. Aku tetap bisa berbicara denganmu.” Apa maksudnya?
“Ayo, lakukan saja,” ucapnya dengan santai.
“Baik” aku langsung menutup telepon itu tanpa rasa menyesal. Malah aku puas tidak perlu berbicara dengan orang menyebalkan itu. Tanpa sadar aku mendengus keras dan memejamkan mata untuk beristirahat. Belum sampai satu menit aku memejamkan mata, aku mendengar pintu kamarku terbuka. Aku langsung terduduk di atas kasur. Detik berikutnya aku terbelalak menatap tamu tak diundang yang masuk ke kamarku.
“Wah, jadi kamar Yuki-sama memang kamar untuk tuan putri. Aku tidak menyangka kalau kamarmu ini berwarna merah muda dan tempat tidurmu penuh dengan boneka – boneka.”
Caesar melangkah dengan santai di dalam kamarku, terlalu santai hingga membuat amarahku memuncak dan tidak bisa dipendam lagi. Aku meraih apapun yang ada di dekatku lalu dengan sekuat tenaga melempar ke arah anak laki – laki yang sekarang mendekati meja belajarku. “KELUAR!” teriakku marah sambil terus melempar bantal dan boneka ke Caesar. “Aduh. Hei, hentikan.” ucapnya setelah bantalku mengenainya diikuti boneka beruangku. “Cepat keluar!” teriakku lagi masih penuh amarah. Tapi teriakanku itu tidak dihiraukannya. Dia mulai menghindari lemparanku dan berjalan ke arahku. Aku meraba – raba di sekitarku lalu sadar kalau tidak ada lagi yang bisa aku lempar, selain HP.
“Sekarang, bagaimana kalau kamu menenangkan diri sementara aku mengambil bonekamu yang berserakan, ya?” tanpa menunggu jawabanku dia mulai mengambil boneka anjing di dekatnya. Aku terdiam kaku masih dengan amarah yang sama. Langkah kaki terburu – buru terdengar di tangga sebelum wajah khawatir Bibi Margareth muncul di depan pintu. “Yuki, ada ap…” Bibi Margareth sepertinya terkejut melihat Caesar di kamarku, apalagi dia mengambil boneka dan bantal di lantai. Caesar sendiri belum sadar akan keberadaan Bi Margareth, dia masih tekun mengambil boneka dan bantal dari lantai. “Kamu siapa?” suara yang keluar dari bibir yang mulai keriput itu terdengar tegas dan tajam. Caesar menengadah menatap wanita yang menatapnya tajam itu dengan terkejut. “Kamu siapa?” ulang Bi Margareth karena tidak mendapat jawaban. Caesar langsung berdiri menghadap wanita yang sudah kukenal baik. “Aku… namaku Caesar. Aku teman sekelasnya Yuki.” Caesar terlihat sopan saat menjawab pertanyaan Bi Margareth. Lebih sopan daripada yang aku kira. Setelah mendengar jawaban yang cukup memuaskan, sebuah senyum menghiasi wajah Bi Margareth. “Oh, begitu. Salam kenal, namaku Margareth, pengurus rumah ini.” Bi Margareth tampak lebih tenang sekarang. “Yuki,” dia menoleh padaku,”Kenapa kamu berteriak seperti orang gila terhadapnya?” Bagus, sekarang aku akan mendapat ceramahnya. “Dia kan teman sekelasmu, memang kenapa kalau dia mengunjungimu. Itu sama sekali tidak salah, tapi kenapa kamu malah meneriakinya seperti melihat hantu.” Karena dia lebih menjengkelkan daripada orang dan hantu manapun, batinku tapi tidak kuucapkan. Bi Margareth hendak melanjutkan ceramahnya ketika Caesar menyelanya dengan sangat sopan,”Aku yang salah, Bi. Aku seenaknya masuk ke rumah ini dan aku juga seenaknya masuk ke kamar Yuki. Makanya tidak aneh kalau Yuki terkejut dan berteriak. Dia tidak salah.” Aku memang tidak salah, kalau kamu tidak masuk seenaknya dengan santai aku tidak akan membuat tenggorokanku sakit karena berteriak, batinku lagi. Bi Margareth menatap Caesar lalu menatapku dan tersenyum. “Kalau begitu aku tidak akan memperpanjang masalah ini lagi. Silahkan saja kalian berbicara dulu. Kamu mau minum apa, Caesar?” Bi Margareth menatap Caesar dengan ramah tanpa memedulikan tatapan tajamku. “Air mineral saja, Bi.” Lagi – lagi, dengan sangat sopan anak laki – laki itu menjawab pertanyaan Bi Margareth.
Akhirnya Bi Margareth undur diri meninggalkan aku dan anak laki – laki menyebalkan itu sendiri. Aku masih terdiam dengan tatapan membunuh yang kau tujukan pada satu – satunya orang di kamarku. Caesar melanjutkan pekerjaannya yang tertunda sebelum dia menatapku. Lucunya, dia menatapku lembut dan menurutku itu menjijikkan. “Apa?” tanyaku kasar karena dia terus menatapku dengan pandangan yang tidak membuatku merasa nyaman. Dia berjalan ke arahku dan duduk di pinggir tempat tidurku, membelakangiku. “Aku pikir dia ibumu.” Dia tersenyum kecil saat mengatakan itu. Aku memberengut tidak mau membalas ucapannya. Kami terdiam cukup lama lalu Caesar memulai percakapan.
“Kamu jarang keluar rumah, ya?”
“Memang itu urusanmu.”
“Menurutku itu urusanku.” Aku merasa suhu tubuhku meningkat sedikit mendengar ucapannya.
“Terus kenapa kamu jarang keluar rumah?”
“Karena aku tidak punya tujuan untuk harus keluar rumah.”
“Kalau begitu buat saja tujuan itu.”
“Hah?” apa lagi maksud orang ini.
“Seperti ‘Aku mau melihat wajah Caesar yang sudah membuatku berteriak kagum’ atau ‘Aku mau meninju Caesar yang sudah membuat wajahku jelek’ kalau begitu kamu mau keluar rumah kan?” candanya sambil menatapku dengan mata yang berkilat senang.
Mau tidak mau, senyumku mengembang dan amarahku menguap ke udara. “Jangan cuma tersenyum, ayo tertawa. Kamu mau membuat calon komedian terkenal ini malu karena tidak bisa membuat seorang putri tertawa?” guraunya lagi. Aku menahan tawaku dengan menundukkan kepala tapi dia tidak mau menyerah. Saat aku pikir dia tidak bercanda lagi, aku mengangkat kepalaku dan mendapati dia menunjukkan wajah yang konyol. Aku tidak dapat menahan tawaku lagi. Aku tertawa sambil memukul pelan lengannya. Caesar berhenti melakukan hal itu lalu menatapku yang masih tertawa dengan senyuman. Saat aku bisa menghentikan tawaku, dia mendekatkan wajahnya pada wajahku. Pipiku memanas dengan cepat karena menatap wajahnya yang terlalu dekat. Dia tersenyum sebelum membuat jantungku tidak normal.
“Kalau kamu tertawa, kamu terlihat seratus kali lebih cantik daripada Snow White asli, makanya sering – seringlah tertawa. Kalau kamu tidak bisa tertawa, panggil komedianmu ini. Mengerti?” dia menyentuh kedua pipiku yang panas dengan senyumnya yang mempesona.
O oh, jantungku tidak mau berhenti berdetak kencang. Apa yang terjadi denganku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar