“Jadi
kamu bisa datang ke rumahku besok?”
“Tentu
saja, kamu sudah siapkan semuanya?”
“Tenang
saja, sudah aku siapkan semuanya. Jangan telat, ya,”
“Iya,
aku tahu. Jangan beritahu Kana.”
“Tidak
akan. Sudah dulu, ya. Dah!”
“Dah.”
Aku menutup telepon dari Monica. Dia sangat antusias menyambut esok hari sampai
– sampai dia mengingatkanku untuk datang ke rumahnya empat kali seharian itu.
Besok kami, aku dan Monica, akan mengadakan pesta kejutan untuk merayakan
seminggu Kana berpacaran dengan Alley (Red
Tulip). Mungkin itu terdengar konyol tapi tidak masalah, aku senang
merayakan sesuatu dengan teman – temanku. Aku merebahkan diri ke tempat tidur,
memikirkan tentang persiapan lomba drama yang sudah dimulai sejak kemarin lusa.
Kami akan melakukan drama ‘Snow White’.
Aku tersenyum masam mengingat bagaimana Caesar menyarankan drama itu dan
seenaknya menentukan kalau aku yang menjadi Snow White dalam drama itu. Yang
benar saja, aku sudah muak dengan julukan Snow White dan sekarang aku harus
memerankan Snow White di drama nanti. Memikirkannya saja sudah membuatku marah.
Bunyi berisik HP-ku meredakan amarahku yang datang dengan cepat. Aku melihat
nomor yang tertera di layar dengan satu alis terangkat. Aku tidak punya nomor
ini yang berarti aku tidak tahu siapa itu. Dengan enggan dan ragu, aku memencet
tombol jawab. “Halo?” suara yang sedikit rendah itu terdengar tidak asing… “Shirayuki-sama,
apakah Yang Mulia di situ?” suara itu bertanya penuh canda yang menurutku tidak
lucu. Yap, itu Caesar. Sialan, dari mana dia tahu nomorku! “Ooh,
Shirayuki-sama. Hamba menunggu.”
“Apa?”
ucapku geram.
“Hee…
jadi ini memang nomormu.”
“Langsung
ke intinya saja, Caesar!” seruku berusaha menahan amarah.
“Jangan
marah – marah, Yuki. Nanti cepat tua, lho.” Aku bisa mendengar anak laki – laki
itu terkekeh pelan.
“Tidak
lucu. Kalau kamu tidak mau berbicara aku akan menutup telepon.”
“Oh,
lakukan saja. Aku tetap bisa berbicara denganmu.” Apa maksudnya?
“Ayo,
lakukan saja,” ucapnya dengan santai.
“Baik”
aku langsung menutup telepon itu tanpa rasa menyesal. Malah aku puas tidak
perlu berbicara dengan orang menyebalkan itu. Tanpa sadar aku mendengus keras
dan memejamkan mata untuk beristirahat. Belum sampai satu menit aku memejamkan
mata, aku mendengar pintu kamarku terbuka. Aku langsung terduduk di atas kasur.
Detik berikutnya aku terbelalak menatap tamu tak diundang yang masuk ke
kamarku.
“Wah,
jadi kamar Yuki-sama memang kamar untuk tuan putri. Aku tidak menyangka kalau
kamarmu ini berwarna merah muda dan tempat tidurmu penuh dengan boneka –
boneka.”
Caesar
melangkah dengan santai di dalam kamarku, terlalu santai hingga membuat
amarahku memuncak dan tidak bisa dipendam lagi. Aku meraih apapun yang ada di
dekatku lalu dengan sekuat tenaga melempar ke arah anak laki – laki yang
sekarang mendekati meja belajarku. “KELUAR!” teriakku marah sambil terus melempar
bantal dan boneka ke Caesar. “Aduh. Hei, hentikan.” ucapnya setelah bantalku
mengenainya diikuti boneka beruangku. “Cepat keluar!” teriakku lagi masih penuh
amarah. Tapi teriakanku itu tidak dihiraukannya. Dia mulai menghindari
lemparanku dan berjalan ke arahku. Aku meraba – raba di sekitarku lalu sadar
kalau tidak ada lagi yang bisa aku lempar, selain HP.
“Sekarang,
bagaimana kalau kamu menenangkan diri sementara aku mengambil bonekamu yang
berserakan, ya?” tanpa menunggu jawabanku dia mulai mengambil boneka anjing di
dekatnya. Aku terdiam kaku masih dengan amarah yang sama. Langkah kaki terburu
– buru terdengar di tangga sebelum wajah khawatir Bibi Margareth muncul di
depan pintu. “Yuki, ada ap…” Bibi Margareth sepertinya terkejut melihat Caesar di
kamarku, apalagi dia mengambil boneka dan bantal di lantai. Caesar sendiri
belum sadar akan keberadaan Bi Margareth, dia masih tekun mengambil boneka dan
bantal dari lantai. “Kamu siapa?” suara yang keluar dari bibir yang mulai
keriput itu terdengar tegas dan tajam. Caesar menengadah menatap wanita yang
menatapnya tajam itu dengan terkejut. “Kamu siapa?” ulang Bi Margareth karena
tidak mendapat jawaban. Caesar langsung berdiri menghadap wanita yang sudah
kukenal baik. “Aku… namaku Caesar. Aku teman sekelasnya Yuki.” Caesar terlihat
sopan saat menjawab pertanyaan Bi Margareth. Lebih sopan daripada yang aku
kira. Setelah mendengar jawaban yang cukup memuaskan, sebuah senyum menghiasi
wajah Bi Margareth. “Oh, begitu. Salam kenal, namaku Margareth, pengurus rumah
ini.” Bi Margareth tampak lebih tenang sekarang. “Yuki,” dia menoleh
padaku,”Kenapa kamu berteriak seperti orang gila terhadapnya?” Bagus, sekarang
aku akan mendapat ceramahnya. “Dia kan teman sekelasmu, memang kenapa kalau dia
mengunjungimu. Itu sama sekali tidak salah, tapi kenapa kamu malah meneriakinya
seperti melihat hantu.” Karena dia lebih menjengkelkan daripada orang dan hantu
manapun, batinku tapi tidak kuucapkan. Bi Margareth hendak melanjutkan
ceramahnya ketika Caesar menyelanya dengan sangat sopan,”Aku yang salah, Bi.
Aku seenaknya masuk ke rumah ini dan aku juga seenaknya masuk ke kamar Yuki.
Makanya tidak aneh kalau Yuki terkejut dan berteriak. Dia tidak salah.” Aku
memang tidak salah, kalau kamu tidak masuk seenaknya dengan santai aku tidak
akan membuat tenggorokanku sakit karena berteriak, batinku lagi. Bi Margareth
menatap Caesar lalu menatapku dan tersenyum. “Kalau begitu aku tidak akan
memperpanjang masalah ini lagi. Silahkan saja kalian berbicara dulu. Kamu mau
minum apa, Caesar?” Bi Margareth menatap Caesar dengan ramah tanpa memedulikan
tatapan tajamku. “Air mineral saja, Bi.” Lagi – lagi, dengan sangat sopan anak
laki – laki itu menjawab pertanyaan Bi Margareth.
Akhirnya
Bi Margareth undur diri meninggalkan aku dan anak laki – laki menyebalkan itu
sendiri. Aku masih terdiam dengan tatapan membunuh yang kau tujukan pada satu –
satunya orang di kamarku. Caesar melanjutkan pekerjaannya yang tertunda sebelum
dia menatapku. Lucunya, dia menatapku lembut dan menurutku itu menjijikkan.
“Apa?” tanyaku kasar karena dia terus menatapku dengan pandangan yang tidak
membuatku merasa nyaman. Dia berjalan ke arahku dan duduk di pinggir tempat
tidurku, membelakangiku. “Aku pikir dia ibumu.” Dia tersenyum kecil saat
mengatakan itu. Aku memberengut tidak mau membalas ucapannya. Kami terdiam
cukup lama lalu Caesar memulai percakapan.
“Kamu
jarang keluar rumah, ya?”
“Memang
itu urusanmu.”
“Menurutku
itu urusanku.” Aku merasa suhu tubuhku meningkat sedikit mendengar ucapannya.
“Terus
kenapa kamu jarang keluar rumah?”
“Karena
aku tidak punya tujuan untuk harus keluar rumah.”
“Kalau
begitu buat saja tujuan itu.”
“Hah?”
apa lagi maksud orang ini.
“Seperti
‘Aku mau melihat wajah Caesar yang sudah membuatku berteriak kagum’ atau ‘Aku
mau meninju Caesar yang sudah membuat wajahku jelek’ kalau begitu kamu mau
keluar rumah kan?” candanya sambil menatapku dengan mata yang berkilat senang.
Mau
tidak mau, senyumku mengembang dan amarahku menguap ke udara. “Jangan cuma
tersenyum, ayo tertawa. Kamu mau membuat calon komedian terkenal ini malu
karena tidak bisa membuat seorang putri tertawa?” guraunya lagi. Aku menahan
tawaku dengan menundukkan kepala tapi dia tidak mau menyerah. Saat aku pikir
dia tidak bercanda lagi, aku mengangkat kepalaku dan mendapati dia menunjukkan
wajah yang konyol. Aku tidak dapat menahan tawaku lagi. Aku tertawa sambil
memukul pelan lengannya. Caesar berhenti melakukan hal itu lalu menatapku yang
masih tertawa dengan senyuman. Saat aku bisa menghentikan tawaku, dia
mendekatkan wajahnya pada wajahku. Pipiku memanas dengan cepat karena menatap
wajahnya yang terlalu dekat. Dia tersenyum sebelum membuat jantungku tidak
normal.
“Kalau
kamu tertawa, kamu terlihat seratus kali lebih cantik daripada Snow White asli,
makanya sering – seringlah tertawa. Kalau kamu tidak bisa tertawa, panggil
komedianmu ini. Mengerti?” dia menyentuh kedua pipiku yang panas dengan
senyumnya yang mempesona.
O
oh, jantungku tidak mau berhenti berdetak kencang. Apa yang terjadi denganku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar