”Jadi kamu sudah
mengetahauinya?” seru Monica dengan bersemangat di HP-ku.
“Tahu apa?” balasku masih
tidak tahu akan apa yang dimaksud dengan ‘nya’ oleh Monica.
“Ya, ampun, siapa lagi
kalau bukan yang memberimu tulip dengan catatan puitisnya itu. Sudah seminggu
kan sejak kejadian itu dan setiap harinya kamu menerima tulip dan puisi – puisi
romantisnya. Ah, mungkin dia akan memberimu buket bunga tulip saat ulang
tahunmu Senin depan lalu dia akan me’nembak’mu! Ahh…. Kau sangat beruntung
Kana,” sahutnya iri.
“Hahaha… Iu tidak mungkin
terjadi, bisa saja dia tidak tahu kalau minggu depan aku akan berulang tahun.
Tapi aku tetap tidak tahu siapa yang memberiku tulip setiap paginya. Hanya
keluargaku saja yang tahu kalau aku suka bunga tulip merah,”
“Mungkin saja itu Alley,
dia kan mengenalmu sejak TK,”
“Tetap saja, dia tidak
tahu menahu kalau aku suka tulip merah. Lagipula, kemarin kan aku berangkat
dengannya, kalau dia memang orang yang memberiku bunga, kapan dia meletakkannya
di mejaku?” Hening sejenak sebelum lawan bicaraku ini menjawab,”Iya juga,sih.
Eh, bagaimana kalau dia menitipkannya pada Raymond? Raymond kan temannya.” Aku
terdiam memikirkan kemungkinan itu. Mungkin saja… Ah, tidak, tidak mungkin.
“Kana? Oi, kamu sedang berkhayal yang aneh – aneh ya?” goda Monica setelah
mendengar keheningan. “Tidak. Aku cuma memikirkan sesuatu yang tidak penting.
Sudah ya, telingaku panas nih,”
“Ah, ya, good night,”
salamnya sebelum menutup perbincangan yang berjalan selama satu jam lebih. Aku
menatap layar HP-ku. Bagus, satu garis merah mengisi gambar baterai di layar.
Padahal baru tadi siang aku mengecasnya. Aku berjalan ke arah charger
dan mengecas HP-ku. Aku melirik ke arah jam di meja belajarku. Jam setengah
tujuh. Harusnya Yuki sudah ada di sini sepermpat jam yang lalu. Yuki adalah
salah satu teman baikku selain Monica, terkadang kami berkumpul bersama, tapi
Yuki seringkali sibuk karena ekskulnya. Dia menjabat wakil ketua di ekskul
drama. Orangnya tidak ingin terlihat menonjol tapi fisiknya sudah menonjol. Kulitnya
putih dengan rambut hitam ditambah dengan bibir merah, persis seperti Snow
White dalam cerita dongeng, yang berbeda hanya sikapnya yang pendiam dan
tertutup. Kalau kami jalan bertiga, aku dan Monica pasti disebut ‘kurcaci –
kurcaci penolong’ Yuki.aku sedikit prihatin dengan sikapnya, salah sedikit
pasti menimbulkan kesalah pahaman. “Kana, Yuki sudah datang,” aku terbangun
dari lamunanku dan beranjak ke bawah. Kulihat Mama baru keluar dari ruang
tamu,”Di dalam,” ucapnya singkat lalu berlalu begitu saja. Aku masuk ke ruang
tamu, berhadapan dengan perempuan berkacamata yang duduk menunduk gelas berisi
teh di dalamnya. “Halo, baru sampai?” sapaku menyadarkannya dari lamunannya.
Dia mendongak dan tersenyum,”Iya, maaf, ya aku telat. Sopirku masih harus mengantar
anaknya dulu baru menjemputku,” Ah, ya, Yuki anak dari sepasang artis Indonesia
dan businessman Jepang, jadi tidak terhitung jumlah warisannya nanti,
tapi dia tidak pernah menyombongkan itu semua. Aku masih berdiri
memandanginya,”Kana?” cicitnya. Aku langsung mengerjap kaget, entah kenapa
akhir ini aku lebih sering melamun. “Mau ke kamarku?” tanyaku begitu saja. Yuki
mengangguk dan mengikutiku ke atas. Dia duduk di atas kursi santai sedangkan
aku duduk di atas ranjang. Dia terlihat gugup karena ini kali kedua dia masuk
ke kamarku. “Sebentar, ya. Aku ambil dulu… Ngomong – ngomong, apa yang mau kamu
pinjam tadi?” ucapku berbalik menghadapnya. “My First Love,” jawabnya antusias.
Aku mengangguk, berbalik ke rak bukuku yang berisi novel – novel. Aku menyerahkan
novel yang dimaksudnya,”Bahan atau bacaan?” tanyaku seperti biasa. “Bacaan,”
jawabnya lagi sembari memasukkan novelku dengan hati – hati ke tasnya. Dia
berbalik menghadapku, mentapku dengan mata yang penuh rasa ingin tahu sebelum
bertanya,”Aku dengar kamu punya penggemar rahasia. Kamu sudah tahu siapa dia?”
Pertanyaan itu seperti tidak ada habisnya. “Tahu dari siapa? Monica?” tanyaku
merasa mengetahui biang keladinya. Sayangnya aku salah. “Hampir seluruh kelas
delapan tahu tentang tulip merah misterius, termasuk kelasku. Itu yang akhir –
akhir ini dibicarakan anak – anak kelasku,” jelasnya tanpa melepas pandangan
dariku barang sedetik. Aku cuma bisa menghela napas panjang malu akan berita
yang bahkan aku tidak tahu.
“Jadi, kamu belum tahu
siapa dia?” tanyanya lagi dengan nada penasaran yang kental. Aku mengangguk
lemas menghadapi pertanyaan yang sama untuk kesepuluh kalinya dalam sehari.
Yuki menunduk setelahnya tapi dia mendongak melihatku dengan sorotan mata
aku-tahu-sesuatu. “Ada apa?” tanyaku untuk membuka mulutnya. “Ehm, aku tidak
tahu apa yang aku lihat ini benar atau tidak,” suaranya bergetar ketakutan saat
mengucapkan itu. Aku bingung dengan apa yang dibicarakan Yuki. ”Sebenarnya aku
melihat Alley –atau menurutku Alley- Sabtu minggu lalu di depan Taman Hijau
dengan cecemu, tapi aku tidak terlalu yakin.” Hah? Alley menemui ceceku? “Lalu
mereka seperti membicarakn sesuatu yang rasanya asyik sekali, mereka bahkan
tidak tahu kalau aku ada di sana memperhatikan mereka,” lanjutnya.
“Teruskan,” ucapku lemas.
Yuki tampak ragu lalu
melanjutkan,”Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan jadi aku tunggu
saja sampai cecemu pergi baru aku akan bertanya pada Alley. Itu rencanaku
sebelum…”
“Sebelum?” dadaku sakit
hanya mendengarkan hal ini.”Lanjutkan saja,” ucapku meski aku tahu kalau air
mataku akan mengalir tidak lama lagi.
“Sebelum aku melihat
mereka…berpelukan dan akhirnya pergi berdua dengan bergandengan,” tutup Yuki
dengan merasa bersalah. Mataku panas, dadaku sakit, ini yang paling aku
takutkan. “Kana, maaf. Aku tidak seharusnya memberiatahumu ini, tapi aku merasa
perlu memberitahumu,” ucapnya penuh rasa bersalah. “Tidak apa – apa, Yuki. Itu
bukan salahmu, justru aku berterima kasih karena kamu sudah memberitahuku hal
ini,” aku memaksa bibirku untuk tersenyum yang ternyata berhasil meski senyum
itu terlihat jelek dan air mataku turun begitu saja. Yuki bangkit dari
duduknya, menghampiriku dan menghapus air mataku. Dia memelukku layaknya
sahabat sedangkan aku menangis dalam pelukannya yang hangat itu. Apa yang baru
saja kudengar hanya menunjukkan satu hal. Aku dan Alley hanya sekedar teman
sejak kecil, tidak akan lebih dari itu…
****
“Alley, menurutmu Ce Jilly cantik tidak?”
“Cecemu?”
“Iya,”
“Tentu saja, dia juga terlihat dewasa. Aku suka perempuan seperti itu,”
“Kamu suka ceceku?”
“Iya,”
“Bagaimana denganku? Kamu tidak menyukaiku?”
“Tentu saja aku menyukaimu. Kamu ini sudah seperti adik perempuanku yang berharga,”
“Berarti kamu menyukaiku sama seperti kamu menyukai ceceku?”
“Iya, seperti itulah,”
“Kalau begitu janjilah padaku satu hal,”
“Apa?”
“Berjanjilah……”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar