Minggu, 06 Mei 2012

Red Tulip - A Painful Fact


”Jadi kamu sudah mengetahauinya?” seru Monica dengan bersemangat di HP-ku.
“Tahu apa?” balasku masih tidak tahu akan apa yang dimaksud dengan ‘nya’ oleh Monica.
“Ya, ampun, siapa lagi kalau bukan yang memberimu tulip dengan catatan puitisnya itu. Sudah seminggu kan sejak kejadian itu dan setiap harinya kamu menerima tulip dan puisi – puisi romantisnya. Ah, mungkin dia akan memberimu buket bunga tulip saat ulang tahunmu Senin depan lalu dia akan me’nembak’mu! Ahh…. Kau sangat beruntung Kana,” sahutnya iri.
“Hahaha… Iu tidak mungkin terjadi, bisa saja dia tidak tahu kalau minggu depan aku akan berulang tahun. Tapi aku tetap tidak tahu siapa yang memberiku tulip setiap paginya. Hanya keluargaku saja yang tahu kalau aku suka bunga tulip merah,”
“Mungkin saja itu Alley, dia kan mengenalmu sejak TK,”
“Tetap saja, dia tidak tahu menahu kalau aku suka tulip merah. Lagipula, kemarin kan aku berangkat dengannya, kalau dia memang orang yang memberiku bunga, kapan dia meletakkannya di mejaku?” Hening sejenak sebelum lawan bicaraku ini menjawab,”Iya juga,sih. Eh, bagaimana kalau dia menitipkannya pada Raymond? Raymond kan temannya.” Aku terdiam memikirkan kemungkinan itu. Mungkin saja… Ah, tidak, tidak mungkin. “Kana? Oi, kamu sedang berkhayal yang aneh – aneh ya?” goda Monica setelah mendengar keheningan. “Tidak. Aku cuma memikirkan sesuatu yang tidak penting. Sudah ya, telingaku panas nih,”
“Ah, ya, good night,” salamnya sebelum menutup perbincangan yang berjalan selama satu jam lebih. Aku menatap layar HP-ku. Bagus, satu garis merah mengisi gambar baterai di layar. Padahal baru tadi siang aku mengecasnya. Aku berjalan ke arah charger dan mengecas HP-ku. Aku melirik ke arah jam di meja belajarku. Jam setengah tujuh. Harusnya Yuki sudah ada di sini sepermpat jam yang lalu. Yuki adalah salah satu teman baikku selain Monica, terkadang kami berkumpul bersama, tapi Yuki seringkali sibuk karena ekskulnya. Dia menjabat wakil ketua di ekskul drama. Orangnya tidak ingin terlihat menonjol tapi fisiknya sudah menonjol. Kulitnya putih dengan rambut hitam ditambah dengan bibir merah, persis seperti Snow White dalam cerita dongeng, yang berbeda hanya sikapnya yang pendiam dan tertutup. Kalau kami jalan bertiga, aku dan Monica pasti disebut ‘kurcaci – kurcaci penolong’ Yuki.aku sedikit prihatin dengan sikapnya, salah sedikit pasti menimbulkan kesalah pahaman. “Kana, Yuki sudah datang,” aku terbangun dari lamunanku dan beranjak ke bawah. Kulihat Mama baru keluar dari ruang tamu,”Di dalam,” ucapnya singkat lalu berlalu begitu saja. Aku masuk ke ruang tamu, berhadapan dengan perempuan berkacamata yang duduk menunduk gelas berisi teh di dalamnya. “Halo, baru sampai?” sapaku menyadarkannya dari lamunannya. Dia mendongak dan tersenyum,”Iya, maaf, ya aku telat. Sopirku masih harus mengantar anaknya dulu baru menjemputku,” Ah, ya, Yuki anak dari sepasang artis Indonesia dan businessman Jepang, jadi tidak terhitung jumlah warisannya nanti, tapi dia tidak pernah menyombongkan itu semua. Aku masih berdiri memandanginya,”Kana?” cicitnya. Aku langsung mengerjap kaget, entah kenapa akhir ini aku lebih sering melamun. “Mau ke kamarku?” tanyaku begitu saja. Yuki mengangguk dan mengikutiku ke atas. Dia duduk di atas kursi santai sedangkan aku duduk di atas ranjang. Dia terlihat gugup karena ini kali kedua dia masuk ke kamarku. “Sebentar, ya. Aku ambil dulu… Ngomong – ngomong, apa yang mau kamu pinjam tadi?” ucapku berbalik menghadapnya. “My First Love,” jawabnya antusias. Aku mengangguk, berbalik ke rak bukuku yang berisi novel – novel. Aku menyerahkan novel yang dimaksudnya,”Bahan atau bacaan?” tanyaku seperti biasa. “Bacaan,” jawabnya lagi sembari memasukkan novelku dengan hati – hati ke tasnya. Dia berbalik menghadapku, mentapku dengan mata yang penuh rasa ingin tahu sebelum bertanya,”Aku dengar kamu punya penggemar rahasia. Kamu sudah tahu siapa dia?” Pertanyaan itu seperti tidak ada habisnya. “Tahu dari siapa? Monica?” tanyaku merasa mengetahui biang keladinya. Sayangnya aku salah. “Hampir seluruh kelas delapan tahu tentang tulip merah misterius, termasuk kelasku. Itu yang akhir – akhir ini dibicarakan anak – anak kelasku,” jelasnya tanpa melepas pandangan dariku barang sedetik. Aku cuma bisa menghela napas panjang malu akan berita yang bahkan aku tidak tahu.
“Jadi, kamu belum tahu siapa dia?” tanyanya lagi dengan nada penasaran yang kental. Aku mengangguk lemas menghadapi pertanyaan yang sama untuk kesepuluh kalinya dalam sehari. Yuki menunduk setelahnya tapi dia mendongak melihatku dengan sorotan mata aku-tahu-sesuatu. “Ada apa?” tanyaku untuk membuka mulutnya. “Ehm, aku tidak tahu apa yang aku lihat ini benar atau tidak,” suaranya bergetar ketakutan saat mengucapkan itu. Aku bingung dengan apa yang dibicarakan Yuki. ”Sebenarnya aku melihat Alley –atau menurutku Alley- Sabtu minggu lalu di depan Taman Hijau dengan cecemu, tapi aku tidak terlalu yakin.” Hah? Alley menemui ceceku? “Lalu mereka seperti membicarakn sesuatu yang rasanya asyik sekali, mereka bahkan tidak tahu kalau aku ada di sana memperhatikan mereka,” lanjutnya.
“Teruskan,” ucapku lemas.
Yuki tampak ragu lalu melanjutkan,”Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan jadi aku tunggu saja sampai cecemu pergi baru aku akan bertanya pada Alley. Itu rencanaku sebelum…”
“Sebelum?” dadaku sakit hanya mendengarkan hal ini.”Lanjutkan saja,” ucapku meski aku tahu kalau air mataku akan mengalir tidak lama lagi.
“Sebelum aku melihat mereka…berpelukan dan akhirnya pergi berdua dengan bergandengan,” tutup Yuki dengan merasa bersalah. Mataku panas, dadaku sakit, ini yang paling aku takutkan. “Kana, maaf. Aku tidak seharusnya memberiatahumu ini, tapi aku merasa perlu memberitahumu,” ucapnya penuh rasa bersalah. “Tidak apa – apa, Yuki. Itu bukan salahmu, justru aku berterima kasih karena kamu sudah memberitahuku hal ini,” aku memaksa bibirku untuk tersenyum yang ternyata berhasil meski senyum itu terlihat jelek dan air mataku turun begitu saja. Yuki bangkit dari duduknya, menghampiriku dan menghapus air mataku. Dia memelukku layaknya sahabat sedangkan aku menangis dalam pelukannya yang hangat itu. Apa yang baru saja kudengar hanya menunjukkan satu hal. Aku dan Alley hanya sekedar teman sejak kecil, tidak akan lebih dari itu…
****
            “Alley, menurutmu Ce Jilly cantik tidak?”
            “Cecemu?”
            “Iya,”
            “Tentu saja, dia juga terlihat dewasa. Aku suka perempuan seperti itu,”
            “Kamu suka ceceku?”
            “Iya,”
            “Bagaimana denganku? Kamu tidak menyukaiku?”
            “Tentu saja aku menyukaimu. Kamu ini sudah seperti adik perempuanku yang berharga,”
            “Berarti kamu menyukaiku sama seperti kamu menyukai ceceku?”
            “Iya, seperti itulah,”
            “Kalau begitu janjilah padaku satu hal,”
“Apa?”
“Berjanjilah……”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar