Minggu, 27 Mei 2012

No Thing To Type Part 2

“Akhirnya selesai juga. Bu Donna selalu saja memberi tugas dadakan,” seru Kana setelah selesai mengerjakan tugas dari atasannya. “Dasar tante penyuruh, selalu saja menyuruh -nyuruh bawahannya. Bahkan menyuruhku untuk melakukan hal simpel yang juga bisa dilakukannya sendiri. Ugh,” Kana berkata – kata dengan suara yang cukup keras. Dia kesal karena disuruh untuk mengirim desain ke klien Bu Donna dalam waktu setengah jam. Perjalanan dari kafe tadi menuju ke apartemennya seharusnya memakan waktu seperempat jam, tapi karena ada kecelakaan yang menimbulkan kemacetan, Kana harus menunggu selama sepuluh menit sebelum akhirnya bebas dari kemacetan itu. Untungnya dia cukup cepat untuk melakukan tugasnya. Kana meluruskan badannya dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Dia mengeluarkan ayam yang sudah dibumbui dari kulkas lalu mengambil minyak goreng yang kemudian dituangnya ke wajan teflon. Dia menggoreng ayamnya sambil bersiul. Teman - temannya iri karena dia bisa bersiul. Dia tersenyum sendiri saat teringat bagaimana Elvin berusaha bersiul namun tidak ada siulan yang keluar dari mulutnya bahkan bibirnya sudah maju satu senti. Setelah mengangkat ayamnya ke piring, dia meletakkan piringnya di meja makan kecil di depan dapur. Lalu dia mendongak mendengar ketukan di pintu apartemennya. Dia berjalan ke pintunya dan membukanya tanpa mengetahui tamunya. Kana melihat sosok gadis yang sudah dia kenal,“Masuklah, Ce Rosa,” ucapnya ramah saat memberi ruang untuk tetangganya bisa masuk. Rosa, gadis kantoran yang usianya akan beranjak dua puluh tujuh itu masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa empuk lalu memandang ke sekeliling ruangan yang amat dikenalinya. “Cece mau ikut makan malam bersamaku?” tanya Kana ramah. “Oh, tidak perlu aku sudah pergi makan tadi. Jadi apartemen sebelahmu masih kosong?” balas Rosa dengan memandangi Kana. Kana bingung dengan pertanyaan Rosa tapi ia tetap menjawab,”Ya, masih. Kenapa dengan apartemen itu?”. “Nanti kau akan tahu sendiri. Baiklah, selamat malam, Kana,” ucap Rosa yang berjalan ke pintu apartemen Kana. “Selamat malam,” cicit Kana. Dia bingung apa maksud Rosa tadi, tapi perutnya tidak mau menahan lapar begitu lama. Kana duduk di kursi meja makan, mengambil nasi lalu meletakkannya di piring bersama ayamnya. Baru saja dia akan menyantap makan malamnya, dia mendengar suara itu. Suara ceklikan kunci membuka pintu. Kana kaget sekaligus penasaran meski perutnya sudah memprotes. Kana berjalan dan membuka pintu apartemennya. Dia menoleh ke arah apartemen sebelahnya yang tak berpenghuni, arah suara yang didengarnya. Seorang laki – laki berdiri di depan apertemen itu hendak membuka pintu ketika mendengar pintu apartemen sebelahnya terbuka. Dia menghadap Kana dengan mata birunya membelalak di balik kacamata seakan tidak percaya apa yang dilihatnya. Demikian juga Kana, tidak percaya kalau dia akan melihat orang itu lagi untuk yang kedua kalinya.
“Tachibana-san,” sapanya masih terkejut melihat Tachibana Ichii di hadapannya.
****
            Ichii memanggil taksi begitu dia sadar kalau langit sudah berubah menjadi gelap. Rupanya sudah lama dia berjalan – jalan setelah ditinggal Kana. Dia pergi melihat toko – toko dan restoran – restoran di sekitar jalan itu. Terkadang dia masuk bila melihat ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Di dalam taksi, dia mengeluarkan kertas kecil yang sedikit terlipat di sana – sini. Dia meluruskannya dan membaca tulisan tangannya yang kecil di situ. Alamat apartemen barunya. Dia memberitahu supir taksi alamatnya dan membiarkan dirinya berganti penampilan di dalam taksi. Dia memakai kacamata tanpa minus, hanya untuk menyamar, dan berusaha keras untuk membuat rambutnya menutupi mukanya.
Sesampainya di gedung apartemen sederhananya itu, dia pergi ke kantor kecil apartemen itu. Di sana dia bertemu dengan pemilik apartemen, seorang laki – laki yang sudah berumur tapi tetap tampak sehat. Ichii diberitahu letak apartemennya setelah diberi kunci apartemennya. Nomor dua ratus enam, di lantai dua, ruangan yang paling pojok di sebelah kanan tangga, ulangnya dalam hati. Gedung apartemen itu hampir mirip dengan apartemen sederhana di Jepang, kecil tapi nyaman. Ichii merasa tenang tidak ada yang mengenalinya meski memang tidak ada orang yang berpapasan dengannya. Dia sampai di lantai dua, berbelok ke kanan tangga, dilihatnya lorong itu cukup untuk dua orang dan ada dinding rendah yang membatasi agar tidak ada yang terjatuh di sisi kiri lorong. Ruang nomor dua ratus empat ada tepat di sebelah tangga. Setelah itu nomor dua ratus lima dan dua ratus enam, persis di pojok. Dia mengeluarkan kunci dari kantong celananya dan memasukkannya ke lubang kunci yang ada di pintu. Diputarnya kunci itu, menghasilkan bunyi ceklikan yang cukup keras. Tiba – tiba pintu apartemen dua ratus lima terbuka. Spontan, Ichii menoleh melihat kepala seorang gadis muncul dari dalam pintu itu. Ichii merasa napasnya berhenti. Gadis itu, Kana Lahari yang menemaninya di kafe tadi, yang membuatnya merasa tenang dan bahagia, sekarang ada di hadapannya lagi. Ichii merasa keinginannya terkabul bahkan lebih dari yang dia harapkan. “Tachibana-san,” didengarnya suara Kana yang kental dengan kekagetan.
****
“Kana-chan, aku tidak menyangka akan bertemu di sini lagi. Apa kau tinggal di sini juga?” tanya Ichii ramah, seakan sudah lama mengenal Kana.
 “Ya, aku tinggal di sini. Kamu sendiri? Kamu akan tinggal di apartemen itu?”
“Iya, mulai sekarang aku akan menjadi tetanggamu. Mohon bantuannya, Kana-chan,” ucap Ichii sambil tersenyum. Kana membalas senyuman hangatnya. “Kau mau masuk?” tanya Ichii setelah membuka pintu apartemennya. Kana mengangguk dan mengikuti Ichii masuk ke apartemen laki – laki itu. Ichii menyalakan lampu apartemennya setelah beberapa detik mencari – cari saklar lampu. Mereka berdua melihat apartemen Ichii. Tata letak ruangannya sama seperti apartemen lainnya. Ruang tamu kecil mencakup ruang santai yang terdapat sofa berukuran sedang, meja dan televisi. Di sebelah utara ruang tamu itu ada meja makan kecil yang di belakangnya ada dapur minimalis. Di sebelah timur ruang tamu ada kamar tidur yang sudah diisi tempat tidur untuk satu orang, satu lemari dan satu meja kerja. Ada jendela yang menghadap ke belakang apartemen di kamar tidur maupun di dapur. Ichii menghempaskan dirinya ke sofa lalu melihat Kana menghampirinya. Kana duduk di sebelahnya. Gadis itu memandangnya dengan matanya yang bulat penuh rasa ingin tahu. “Kenapa kamu tinggal di apartemen kecil seperti ini? Tidakkah kamu seharusnya tinggal di rumah sewaan yang besar dan aman dari jangkauan wartawan? Lalu bagaimana kamu bisa sampai tinggal di apartemen ini tanpa ditanyai apapun? Dan lagi seharian ini aku melihatmu sendiri, kamu pergi tanpa manjermu ya?” rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Kana membuat Ichii bingung untuk menjawab. “Sabar, gadis. Aku akan menjawab pertanyaanmu satu persatu. Pertama, aku tidak suka tinggal di tempat yang besar. Kedua, aku memakai nama manejerku sehingga terbebas dari pertanyaan – pertanyaan, yang pasti membosankan. Dan ketiga, ya aku memang pergi sendiri, lebih tepatnya aku kabur. Seharusnya baru besok aku datang ke sini. Jadi apa jawabanku sudah memuaskanmu?” balas Ichii tersenyum jahil. Kana mengangguk meski masih ada banyak pertanyaan berkelebat di otaknya. Kana melihat Ichii sudah pergi ke kamar tidurnya. Kana hanya melihat sosok Ichii di kegelapan  yang remang – remang sebelum Ichii menyalakan lampu kamarnya. Ichii meletakkan kopornya di sebelah tempat tidur, masih malas untuk membongkar isinya. Dia duduk di atas kasur empuk tempat tidurnya lalu tersenyum sendiri. Kana masih belum beranjak dari sofa ruang tamu. Pandangan matanya masih terpaku pada sosok Ichii, seakan tidak bisa melepas pandangannya dari aktor itu. Kana kembali tersadar setelah Ichii menghampirinya sambil berkata,”Aku sudah membuatmu terpesona ya?”. Ichii tersenyum bangga, memamerkan barisan gigi putih yang rapi. Kana tertawa sekaligus menggelengkan kepala. “Tidak? Kalau begitu apa yang harus aku lakukan agar bisa membuatmu terpesona?” tanya Ichii masih tersenyum tapi tatapan matanya serius. Kana menganggap itu sebagai lelucon dan menjawab,”Tidak ada,” gadis itu masih tertawa. Ichii hanya bisa memandangi gadis di hadapannya dengan tersenyum menyerah. Sebenarnya Ichii serius menanyakan hal itu tapi dia yakin Kana pasti akan menganggap kata – katanya sebagai lelucon. Yah, mau bagaimana lagi, mereka berdua juga baru saja bertemu. Mungkin suatu hari nanti Kana tidak akan menganggap itu sebagai lelucon belaka saja. Kana sudah berhenti tertawa dan melihat Ichii yang masih memandanginya. “Sekarang aku yang membuatmu terpesona ya?” tanya Kana dengan kejahilan pada senyuman di bibirnya. Ichii tidak menjawab, dia masih terpaku pada wajah Kana. Kana memanggilnya,”Tachibana-san? Kau tidak apa – apa?” Kana mulai kebingungan melihat Ichii tidak membalas pertanyaannya. Ichii tersentak seperti baru tersadar lalu membalas Kana,”Oh, ya aku tidak apa – apa. Hanya melamun. Kamu sudah makan?” Ichii berusaha mengalihkan pertanyaan. Kana menyadari itu tapi dia mengikuti arah pembicaraan saja,”Belum, karena aku mendengar kuncimu menimbulkan bunyi, Tachibana-san sendiri?”.
“Belum. Bagaimana kalau kita makan malam bersama, aku yang bayar. Oh, dan jangan memanggilku Tachibana-san. Panggil aku Ichii kalau kita berada di luar apartemen, tapi panggil aku Akira di apartemen. Mengerti, Kana-chan?”
“Baiklah, Tuan Banyak Nama. Aku mengerti. Jadi kita mau makan di mana?” tanya Kana bersemangat melupakan makan malam yang sudah dibuatnya di apartemennya.


4 komentar:

  1. keren pomm >o<b bahasane beda dari yg duluu .. lebih yak apaa gituu ..
    lanjutkaann !

    BalasHapus
  2. ndaa .. bahasane xg ini lebih apik dari xg duluuu ..
    lebih terasa di hati *ehem
    ehmm, satu pertanyaan, ichii itu tertarik sama kana ya ? *gasabarpengentau

    BalasHapus