“Akhirnya selesai juga. Bu Donna selalu
saja memberi tugas dadakan,” seru Kana setelah selesai mengerjakan tugas dari
atasannya. “Dasar tante penyuruh, selalu saja menyuruh -nyuruh bawahannya. Bahkan
menyuruhku untuk melakukan hal simpel yang juga bisa dilakukannya sendiri.
Ugh,” Kana berkata – kata dengan suara yang cukup keras. Dia kesal karena
disuruh untuk mengirim desain ke klien Bu Donna dalam waktu setengah jam.
Perjalanan dari kafe tadi menuju ke apartemennya seharusnya memakan waktu
seperempat jam, tapi karena ada kecelakaan yang menimbulkan kemacetan, Kana
harus menunggu selama sepuluh menit sebelum akhirnya bebas dari kemacetan itu.
Untungnya dia cukup cepat untuk melakukan tugasnya. Kana meluruskan badannya
dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Dia mengeluarkan ayam yang
sudah dibumbui dari kulkas lalu mengambil minyak goreng yang kemudian
dituangnya ke wajan teflon. Dia menggoreng ayamnya sambil bersiul. Teman -
temannya iri karena dia bisa bersiul. Dia tersenyum sendiri saat teringat
bagaimana Elvin berusaha bersiul namun tidak ada siulan yang keluar dari
mulutnya bahkan bibirnya sudah maju satu senti. Setelah mengangkat ayamnya ke
piring, dia meletakkan piringnya di meja makan kecil di depan dapur. Lalu dia
mendongak mendengar ketukan di pintu apartemennya. Dia berjalan ke pintunya dan
membukanya tanpa mengetahui tamunya. Kana melihat sosok gadis yang sudah dia
kenal,“Masuklah, Ce Rosa,” ucapnya ramah saat memberi ruang untuk tetangganya
bisa masuk. Rosa, gadis kantoran yang usianya akan beranjak dua puluh tujuh itu
masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa empuk lalu memandang ke sekeliling
ruangan yang amat dikenalinya. “Cece mau ikut makan malam bersamaku?” tanya
Kana ramah. “Oh, tidak perlu aku sudah pergi makan tadi. Jadi apartemen
sebelahmu masih kosong?” balas Rosa dengan memandangi Kana. Kana bingung dengan
pertanyaan Rosa tapi ia tetap menjawab,”Ya, masih. Kenapa dengan apartemen
itu?”. “Nanti kau akan tahu sendiri. Baiklah, selamat malam, Kana,” ucap Rosa
yang berjalan ke pintu apartemen Kana. “Selamat malam,” cicit Kana. Dia bingung
apa maksud Rosa tadi, tapi perutnya tidak mau menahan lapar begitu lama. Kana
duduk di kursi meja makan, mengambil nasi lalu meletakkannya di piring bersama
ayamnya. Baru saja dia akan menyantap makan malamnya, dia mendengar suara itu.
Suara ceklikan kunci membuka pintu. Kana kaget sekaligus penasaran meski
perutnya sudah memprotes. Kana berjalan dan membuka pintu apartemennya. Dia
menoleh ke arah apartemen sebelahnya yang tak berpenghuni, arah suara yang
didengarnya. Seorang laki – laki berdiri di depan apertemen itu hendak membuka
pintu ketika mendengar pintu apartemen sebelahnya terbuka. Dia menghadap Kana
dengan mata birunya membelalak di balik kacamata seakan tidak percaya apa yang
dilihatnya. Demikian juga Kana, tidak percaya kalau dia akan melihat orang itu
lagi untuk yang kedua kalinya.
“Tachibana-san,” sapanya masih terkejut
melihat Tachibana Ichii di hadapannya.
****
Ichii
memanggil taksi begitu dia sadar kalau langit sudah berubah menjadi gelap.
Rupanya sudah lama dia berjalan – jalan setelah ditinggal Kana. Dia pergi
melihat toko – toko dan restoran – restoran di sekitar jalan itu. Terkadang dia
masuk bila melihat ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Di dalam taksi, dia mengeluarkan kertas
kecil yang sedikit terlipat di sana – sini. Dia meluruskannya dan membaca
tulisan tangannya yang kecil di situ. Alamat apartemen barunya. Dia memberitahu
supir taksi alamatnya dan membiarkan dirinya berganti penampilan di dalam
taksi. Dia memakai kacamata tanpa minus, hanya untuk menyamar, dan berusaha keras
untuk membuat rambutnya menutupi mukanya.
Sesampainya di gedung apartemen
sederhananya itu, dia pergi ke kantor kecil apartemen itu. Di sana dia bertemu
dengan pemilik apartemen, seorang laki – laki yang sudah berumur tapi tetap
tampak sehat. Ichii diberitahu letak apartemennya setelah diberi kunci
apartemennya. Nomor dua ratus enam, di lantai dua, ruangan yang paling pojok di
sebelah kanan tangga, ulangnya dalam hati. Gedung apartemen itu hampir mirip
dengan apartemen sederhana di Jepang, kecil tapi nyaman. Ichii merasa tenang
tidak ada yang mengenalinya meski memang tidak ada orang yang berpapasan
dengannya. Dia sampai di lantai dua, berbelok ke kanan tangga, dilihatnya
lorong itu cukup untuk dua orang dan ada dinding rendah yang membatasi agar
tidak ada yang terjatuh di sisi kiri lorong. Ruang nomor dua ratus empat ada
tepat di sebelah tangga. Setelah itu nomor dua ratus lima dan dua ratus enam,
persis di pojok. Dia mengeluarkan kunci dari kantong celananya dan
memasukkannya ke lubang kunci yang ada di pintu. Diputarnya kunci itu,
menghasilkan bunyi ceklikan yang cukup keras. Tiba – tiba pintu apartemen dua
ratus lima terbuka. Spontan, Ichii menoleh melihat kepala seorang gadis muncul
dari dalam pintu itu. Ichii merasa napasnya berhenti. Gadis itu, Kana Lahari
yang menemaninya di kafe tadi, yang membuatnya merasa tenang dan bahagia,
sekarang ada di hadapannya lagi. Ichii merasa keinginannya terkabul bahkan
lebih dari yang dia harapkan. “Tachibana-san,” didengarnya suara Kana yang
kental dengan kekagetan.
****
“Kana-chan, aku tidak menyangka akan
bertemu di sini lagi. Apa kau tinggal di sini juga?” tanya Ichii ramah, seakan
sudah lama mengenal Kana.
“Ya, aku tinggal di sini. Kamu sendiri? Kamu
akan tinggal di apartemen itu?”
“Iya, mulai sekarang aku akan menjadi
tetanggamu. Mohon bantuannya, Kana-chan,” ucap Ichii sambil tersenyum. Kana
membalas senyuman hangatnya. “Kau mau masuk?” tanya Ichii setelah membuka pintu
apartemennya. Kana mengangguk dan mengikuti Ichii masuk ke apartemen laki –
laki itu. Ichii menyalakan lampu apartemennya setelah beberapa detik mencari –
cari saklar lampu. Mereka berdua melihat apartemen Ichii. Tata letak ruangannya
sama seperti apartemen lainnya. Ruang tamu kecil mencakup ruang santai yang
terdapat sofa berukuran sedang, meja dan televisi. Di sebelah utara ruang tamu
itu ada meja makan kecil yang di belakangnya ada dapur minimalis. Di sebelah
timur ruang tamu ada kamar tidur yang sudah diisi tempat tidur untuk satu
orang, satu lemari dan satu meja kerja. Ada jendela yang menghadap ke belakang
apartemen di kamar tidur maupun di dapur. Ichii menghempaskan dirinya ke sofa
lalu melihat Kana menghampirinya. Kana duduk di sebelahnya. Gadis itu memandangnya
dengan matanya yang bulat penuh rasa ingin tahu. “Kenapa kamu tinggal di
apartemen kecil seperti ini? Tidakkah kamu seharusnya tinggal di rumah sewaan
yang besar dan aman dari jangkauan wartawan? Lalu bagaimana kamu bisa sampai
tinggal di apartemen ini tanpa ditanyai apapun? Dan lagi seharian ini aku
melihatmu sendiri, kamu pergi tanpa manjermu ya?” rentetan pertanyaan yang
keluar dari mulut Kana membuat Ichii bingung untuk menjawab. “Sabar, gadis. Aku
akan menjawab pertanyaanmu satu persatu. Pertama, aku tidak suka tinggal di
tempat yang besar. Kedua, aku memakai nama manejerku sehingga terbebas dari
pertanyaan – pertanyaan, yang pasti membosankan. Dan ketiga, ya aku memang
pergi sendiri, lebih tepatnya aku kabur. Seharusnya baru besok aku datang ke
sini. Jadi apa jawabanku sudah memuaskanmu?” balas Ichii tersenyum jahil. Kana
mengangguk meski masih ada banyak pertanyaan berkelebat di otaknya. Kana
melihat Ichii sudah pergi ke kamar tidurnya. Kana hanya melihat sosok Ichii di
kegelapan yang remang – remang sebelum
Ichii menyalakan lampu kamarnya. Ichii meletakkan kopornya di sebelah tempat
tidur, masih malas untuk membongkar isinya. Dia duduk di atas kasur empuk
tempat tidurnya lalu tersenyum sendiri. Kana masih belum beranjak dari sofa
ruang tamu. Pandangan matanya masih terpaku pada sosok Ichii, seakan tidak bisa
melepas pandangannya dari aktor itu. Kana kembali tersadar setelah Ichii
menghampirinya sambil berkata,”Aku sudah membuatmu terpesona ya?”. Ichii
tersenyum bangga, memamerkan barisan gigi putih yang rapi. Kana tertawa
sekaligus menggelengkan kepala. “Tidak? Kalau begitu apa yang harus aku lakukan
agar bisa membuatmu terpesona?” tanya Ichii masih tersenyum tapi tatapan matanya
serius. Kana menganggap itu sebagai lelucon dan menjawab,”Tidak ada,” gadis itu
masih tertawa. Ichii hanya bisa memandangi gadis di hadapannya dengan tersenyum
menyerah. Sebenarnya Ichii serius menanyakan hal itu tapi dia yakin Kana pasti
akan menganggap kata – katanya sebagai lelucon. Yah, mau bagaimana lagi, mereka
berdua juga baru saja bertemu. Mungkin suatu hari nanti Kana tidak akan
menganggap itu sebagai lelucon belaka saja. Kana sudah berhenti tertawa dan
melihat Ichii yang masih memandanginya. “Sekarang aku yang membuatmu terpesona
ya?” tanya Kana dengan kejahilan pada senyuman di bibirnya. Ichii tidak
menjawab, dia masih terpaku pada wajah Kana. Kana memanggilnya,”Tachibana-san?
Kau tidak apa – apa?” Kana mulai kebingungan melihat Ichii tidak membalas
pertanyaannya. Ichii tersentak seperti baru tersadar lalu membalas Kana,”Oh, ya
aku tidak apa – apa. Hanya melamun. Kamu sudah makan?” Ichii berusaha
mengalihkan pertanyaan. Kana menyadari itu tapi dia mengikuti arah pembicaraan
saja,”Belum, karena aku mendengar kuncimu menimbulkan bunyi, Tachibana-san
sendiri?”.
“Belum. Bagaimana kalau kita makan
malam bersama, aku yang bayar. Oh, dan jangan memanggilku Tachibana-san.
Panggil aku Ichii kalau kita berada di luar apartemen, tapi panggil aku Akira di
apartemen. Mengerti, Kana-chan?”
“Baiklah, Tuan Banyak Nama. Aku mengerti.
Jadi kita mau makan di mana?” tanya Kana bersemangat melupakan makan malam yang
sudah dibuatnya di apartemennya.
keren pomm >o<b bahasane beda dari yg duluu .. lebih yak apaa gituu ..
BalasHapuslanjutkaann !
thx ^w^
Hapusbahasanya kenapa? aneh ya =w=....
ndaa .. bahasane xg ini lebih apik dari xg duluuu ..
BalasHapuslebih terasa di hati *ehem
ehmm, satu pertanyaan, ichii itu tertarik sama kana ya ? *gasabarpengentau
oohh... thx ^w^
Hapuslihat aj nti ;)