Minggu, 27 Mei 2012

No Thing To Type Part 2

“Akhirnya selesai juga. Bu Donna selalu saja memberi tugas dadakan,” seru Kana setelah selesai mengerjakan tugas dari atasannya. “Dasar tante penyuruh, selalu saja menyuruh -nyuruh bawahannya. Bahkan menyuruhku untuk melakukan hal simpel yang juga bisa dilakukannya sendiri. Ugh,” Kana berkata – kata dengan suara yang cukup keras. Dia kesal karena disuruh untuk mengirim desain ke klien Bu Donna dalam waktu setengah jam. Perjalanan dari kafe tadi menuju ke apartemennya seharusnya memakan waktu seperempat jam, tapi karena ada kecelakaan yang menimbulkan kemacetan, Kana harus menunggu selama sepuluh menit sebelum akhirnya bebas dari kemacetan itu. Untungnya dia cukup cepat untuk melakukan tugasnya. Kana meluruskan badannya dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Dia mengeluarkan ayam yang sudah dibumbui dari kulkas lalu mengambil minyak goreng yang kemudian dituangnya ke wajan teflon. Dia menggoreng ayamnya sambil bersiul. Teman - temannya iri karena dia bisa bersiul. Dia tersenyum sendiri saat teringat bagaimana Elvin berusaha bersiul namun tidak ada siulan yang keluar dari mulutnya bahkan bibirnya sudah maju satu senti. Setelah mengangkat ayamnya ke piring, dia meletakkan piringnya di meja makan kecil di depan dapur. Lalu dia mendongak mendengar ketukan di pintu apartemennya. Dia berjalan ke pintunya dan membukanya tanpa mengetahui tamunya. Kana melihat sosok gadis yang sudah dia kenal,“Masuklah, Ce Rosa,” ucapnya ramah saat memberi ruang untuk tetangganya bisa masuk. Rosa, gadis kantoran yang usianya akan beranjak dua puluh tujuh itu masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa empuk lalu memandang ke sekeliling ruangan yang amat dikenalinya. “Cece mau ikut makan malam bersamaku?” tanya Kana ramah. “Oh, tidak perlu aku sudah pergi makan tadi. Jadi apartemen sebelahmu masih kosong?” balas Rosa dengan memandangi Kana. Kana bingung dengan pertanyaan Rosa tapi ia tetap menjawab,”Ya, masih. Kenapa dengan apartemen itu?”. “Nanti kau akan tahu sendiri. Baiklah, selamat malam, Kana,” ucap Rosa yang berjalan ke pintu apartemen Kana. “Selamat malam,” cicit Kana. Dia bingung apa maksud Rosa tadi, tapi perutnya tidak mau menahan lapar begitu lama. Kana duduk di kursi meja makan, mengambil nasi lalu meletakkannya di piring bersama ayamnya. Baru saja dia akan menyantap makan malamnya, dia mendengar suara itu. Suara ceklikan kunci membuka pintu. Kana kaget sekaligus penasaran meski perutnya sudah memprotes. Kana berjalan dan membuka pintu apartemennya. Dia menoleh ke arah apartemen sebelahnya yang tak berpenghuni, arah suara yang didengarnya. Seorang laki – laki berdiri di depan apertemen itu hendak membuka pintu ketika mendengar pintu apartemen sebelahnya terbuka. Dia menghadap Kana dengan mata birunya membelalak di balik kacamata seakan tidak percaya apa yang dilihatnya. Demikian juga Kana, tidak percaya kalau dia akan melihat orang itu lagi untuk yang kedua kalinya.
“Tachibana-san,” sapanya masih terkejut melihat Tachibana Ichii di hadapannya.
****
            Ichii memanggil taksi begitu dia sadar kalau langit sudah berubah menjadi gelap. Rupanya sudah lama dia berjalan – jalan setelah ditinggal Kana. Dia pergi melihat toko – toko dan restoran – restoran di sekitar jalan itu. Terkadang dia masuk bila melihat ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
Di dalam taksi, dia mengeluarkan kertas kecil yang sedikit terlipat di sana – sini. Dia meluruskannya dan membaca tulisan tangannya yang kecil di situ. Alamat apartemen barunya. Dia memberitahu supir taksi alamatnya dan membiarkan dirinya berganti penampilan di dalam taksi. Dia memakai kacamata tanpa minus, hanya untuk menyamar, dan berusaha keras untuk membuat rambutnya menutupi mukanya.
Sesampainya di gedung apartemen sederhananya itu, dia pergi ke kantor kecil apartemen itu. Di sana dia bertemu dengan pemilik apartemen, seorang laki – laki yang sudah berumur tapi tetap tampak sehat. Ichii diberitahu letak apartemennya setelah diberi kunci apartemennya. Nomor dua ratus enam, di lantai dua, ruangan yang paling pojok di sebelah kanan tangga, ulangnya dalam hati. Gedung apartemen itu hampir mirip dengan apartemen sederhana di Jepang, kecil tapi nyaman. Ichii merasa tenang tidak ada yang mengenalinya meski memang tidak ada orang yang berpapasan dengannya. Dia sampai di lantai dua, berbelok ke kanan tangga, dilihatnya lorong itu cukup untuk dua orang dan ada dinding rendah yang membatasi agar tidak ada yang terjatuh di sisi kiri lorong. Ruang nomor dua ratus empat ada tepat di sebelah tangga. Setelah itu nomor dua ratus lima dan dua ratus enam, persis di pojok. Dia mengeluarkan kunci dari kantong celananya dan memasukkannya ke lubang kunci yang ada di pintu. Diputarnya kunci itu, menghasilkan bunyi ceklikan yang cukup keras. Tiba – tiba pintu apartemen dua ratus lima terbuka. Spontan, Ichii menoleh melihat kepala seorang gadis muncul dari dalam pintu itu. Ichii merasa napasnya berhenti. Gadis itu, Kana Lahari yang menemaninya di kafe tadi, yang membuatnya merasa tenang dan bahagia, sekarang ada di hadapannya lagi. Ichii merasa keinginannya terkabul bahkan lebih dari yang dia harapkan. “Tachibana-san,” didengarnya suara Kana yang kental dengan kekagetan.
****
“Kana-chan, aku tidak menyangka akan bertemu di sini lagi. Apa kau tinggal di sini juga?” tanya Ichii ramah, seakan sudah lama mengenal Kana.
 “Ya, aku tinggal di sini. Kamu sendiri? Kamu akan tinggal di apartemen itu?”
“Iya, mulai sekarang aku akan menjadi tetanggamu. Mohon bantuannya, Kana-chan,” ucap Ichii sambil tersenyum. Kana membalas senyuman hangatnya. “Kau mau masuk?” tanya Ichii setelah membuka pintu apartemennya. Kana mengangguk dan mengikuti Ichii masuk ke apartemen laki – laki itu. Ichii menyalakan lampu apartemennya setelah beberapa detik mencari – cari saklar lampu. Mereka berdua melihat apartemen Ichii. Tata letak ruangannya sama seperti apartemen lainnya. Ruang tamu kecil mencakup ruang santai yang terdapat sofa berukuran sedang, meja dan televisi. Di sebelah utara ruang tamu itu ada meja makan kecil yang di belakangnya ada dapur minimalis. Di sebelah timur ruang tamu ada kamar tidur yang sudah diisi tempat tidur untuk satu orang, satu lemari dan satu meja kerja. Ada jendela yang menghadap ke belakang apartemen di kamar tidur maupun di dapur. Ichii menghempaskan dirinya ke sofa lalu melihat Kana menghampirinya. Kana duduk di sebelahnya. Gadis itu memandangnya dengan matanya yang bulat penuh rasa ingin tahu. “Kenapa kamu tinggal di apartemen kecil seperti ini? Tidakkah kamu seharusnya tinggal di rumah sewaan yang besar dan aman dari jangkauan wartawan? Lalu bagaimana kamu bisa sampai tinggal di apartemen ini tanpa ditanyai apapun? Dan lagi seharian ini aku melihatmu sendiri, kamu pergi tanpa manjermu ya?” rentetan pertanyaan yang keluar dari mulut Kana membuat Ichii bingung untuk menjawab. “Sabar, gadis. Aku akan menjawab pertanyaanmu satu persatu. Pertama, aku tidak suka tinggal di tempat yang besar. Kedua, aku memakai nama manejerku sehingga terbebas dari pertanyaan – pertanyaan, yang pasti membosankan. Dan ketiga, ya aku memang pergi sendiri, lebih tepatnya aku kabur. Seharusnya baru besok aku datang ke sini. Jadi apa jawabanku sudah memuaskanmu?” balas Ichii tersenyum jahil. Kana mengangguk meski masih ada banyak pertanyaan berkelebat di otaknya. Kana melihat Ichii sudah pergi ke kamar tidurnya. Kana hanya melihat sosok Ichii di kegelapan  yang remang – remang sebelum Ichii menyalakan lampu kamarnya. Ichii meletakkan kopornya di sebelah tempat tidur, masih malas untuk membongkar isinya. Dia duduk di atas kasur empuk tempat tidurnya lalu tersenyum sendiri. Kana masih belum beranjak dari sofa ruang tamu. Pandangan matanya masih terpaku pada sosok Ichii, seakan tidak bisa melepas pandangannya dari aktor itu. Kana kembali tersadar setelah Ichii menghampirinya sambil berkata,”Aku sudah membuatmu terpesona ya?”. Ichii tersenyum bangga, memamerkan barisan gigi putih yang rapi. Kana tertawa sekaligus menggelengkan kepala. “Tidak? Kalau begitu apa yang harus aku lakukan agar bisa membuatmu terpesona?” tanya Ichii masih tersenyum tapi tatapan matanya serius. Kana menganggap itu sebagai lelucon dan menjawab,”Tidak ada,” gadis itu masih tertawa. Ichii hanya bisa memandangi gadis di hadapannya dengan tersenyum menyerah. Sebenarnya Ichii serius menanyakan hal itu tapi dia yakin Kana pasti akan menganggap kata – katanya sebagai lelucon. Yah, mau bagaimana lagi, mereka berdua juga baru saja bertemu. Mungkin suatu hari nanti Kana tidak akan menganggap itu sebagai lelucon belaka saja. Kana sudah berhenti tertawa dan melihat Ichii yang masih memandanginya. “Sekarang aku yang membuatmu terpesona ya?” tanya Kana dengan kejahilan pada senyuman di bibirnya. Ichii tidak menjawab, dia masih terpaku pada wajah Kana. Kana memanggilnya,”Tachibana-san? Kau tidak apa – apa?” Kana mulai kebingungan melihat Ichii tidak membalas pertanyaannya. Ichii tersentak seperti baru tersadar lalu membalas Kana,”Oh, ya aku tidak apa – apa. Hanya melamun. Kamu sudah makan?” Ichii berusaha mengalihkan pertanyaan. Kana menyadari itu tapi dia mengikuti arah pembicaraan saja,”Belum, karena aku mendengar kuncimu menimbulkan bunyi, Tachibana-san sendiri?”.
“Belum. Bagaimana kalau kita makan malam bersama, aku yang bayar. Oh, dan jangan memanggilku Tachibana-san. Panggil aku Ichii kalau kita berada di luar apartemen, tapi panggil aku Akira di apartemen. Mengerti, Kana-chan?”
“Baiklah, Tuan Banyak Nama. Aku mengerti. Jadi kita mau makan di mana?” tanya Kana bersemangat melupakan makan malam yang sudah dibuatnya di apartemennya.


Minggu, 13 Mei 2012

No Thing To Type


Panasnya siang hari itu begitu mematahkan semangat orang – orang yang berlalu lalang di zebra cross. Mereka sudah memakai kaos, celana pendek, dan pakaian lain yang bisa mengurangi panas yang ada, tapi tak ada satu pun yang tidak merasakan panas matahari siang itu. Bahkan beberapa dari pejalan kaki itu berhenti di beberapa kafe dan warung di pinggir jalan untuk berteduh dari terik matahari. Termasuk sekelompok gadis yang baru pulang dari tempat kerja mereka. Mereka tidak terlihat mencolok di antara gerombolan orang yang berada di kafe. Mereka memakai baju yang menyatakan mereka bekerja namun bukan pekerja kantoran. Keempat gadis itu memasuki kafe dan disambut gemerincing lonceng yang terdengar riang. Mereka berbincang – bincang sambil berjalan mendekati meja yang bersebelahan dengan jendela lebar kafe. Pada saat seorang pelayan datang, salah seorang dari mereka memesan empat lemon tea. Pelayan itu segera pergi dan membiarkan empat orang gadis itu berbincang – bincang dengan asyik.
 “Apa yang kalian lakukan di studio? Aku dengar kalian mendapat kesempatan memotret seorang aktor tampan dari Prancis. Apa aktor kalian sudah datang?” tanya gadis yang berambut pendek dan bergelombang pada gadis yang tadi memesankan minuman pada pelayan. “Kamu ini selalu mendapat informasi lebih cepat, ya? Iya, kami mendapat kesempatan itu, tapi model itu baru datang besok. Kenapa? Kamu mau berkenalan dengannya, Elvin?” balas gadis itu. Elvin hanya tertawa, “Tentu saja tidak, Maria. Kamu tahu kan kalau aku sudah punya pacar dan sebentar lagi kami akan bertunangan. Tapi kalau kamu memang bersedia memperkenalkan aku dengan model itu, aku akan dengan senang hati menerima tawaranmu,” Elvin tersenyum pada Maria saat dia mengatakan hal itu. Maria tidak bisa menahan senyumannya mendengar teman kuliahnya berkata seperti itu. Elvin selalu bisa membuat orang tersenyum. Elvin menoleh, melihat teman kerja sekaligus teman kuliahnya yang duduk di sebelahnya. Temannya itu sedang memandang ke luar jendela. “Apa yang kamu lihat, Kana?” tanyanya penasaran. Kana, seorang gadis dengan rambut hitam lurus, berbalik menghadap Elvin. Dia sedikit kaget sehingga baru bisa menjawab sedetik kemudian. “Tidak. Tidak ada. Hanya…kau tahu, melihat orang berlalu lalang,” jawabnya seraya mengangkat bahu. Elvin hanya menatap temannya itu sebelum akhirnya tersenyum dan mengajak berbicara dua gadis di hadapannya. Kana kembali memandang keluar jendela, melihat orang – orang berjalan melewati zebra cross. Ada yang menuju ke warung terdekat, ada juga yang berlari memanggil taksi. Dia melihat anak kecil yang digandeng ibunya berjalan di trotoar. Mereka terlihat bahagia. Gambaran – gambaran masa lalu mulai berkelebat di benak Kana. Dia segera menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikirannya itu. “Ada yang salah, Kana?” tanya Elvin, memandangi Kana dengan satu alis terangkat. Kana tersenyum dan menggelengkan kepala. Elvin hanya mengedikkan bahu lalu melihat seorang pelayan yang datang mengantarkan pesanan mejanya. Tepat saat dia akan mengambil gelas tinggi di hadapannya, telepon genggamnya berdering. Ketiga temannya menoleh ke arahnya saat dia mengambil dan menjawab telepon itu. “Kevin? Ada apa… Benarkah? Oke, baiklah tunggu aku di sana. Aku akan segera berangkat. Iya, dah,” dia tersenyum setelah mengucapkan salam perpisahannya pada lawan bicaranya. Kana menatapnya penuh rasa ingin tahu,”Kevin mengajakmu makan siang?” pertanyaan yang meluncur mulus itu menyerukan pikiran Kana. “Iya, ambil saja jatah minumku. Besok aku akan membayarnya,” lalu Elvin pergi, meninggalkan teman – temannya yang masih memandang kepergiannya.
Riana, gadis yang duduk di sebelah Maria menghembuskan napas panjang. Kana menoleh memandang teman semasa sekolahnya itu. Maria juga memandangnya dengan tanda tanya. “Pasti enak kalau diajak makan siang dengan pacar. Aku juga ingin merasakan itu,” Riana memandang ke luar jendela dengan bertopang dagu. “Bukannya kamu sendiri sudah punya pacar juga, apa maksud perkataanmu itu?” balas Maria tanpa diminta. Kana mengangguk setuju dengan Maria meski Riana tidak melihatnya. Riana kembali menghembuskan napas panjang. “Kau tidak akan pergi makan siang dan saat akan berkencan pasti batal karena panggilan dadakan, apabila Steve jadi pacarmu,” jawabnya sambil mendengus. Seakan menyerukan ketidaksetujuan, telepon genggam Riana berdering. Dia melihat nama yang ada di layar teleponnya itu dan senyumnya mengembang. “Halo, Steve… Sungguh? Kamu tidak akan membatalkannya lagi karena seorang pasien yang kritis tiba – tiba kan?... Baiklah. Sampai ketemu di sana,” Riana bangkit berdiri begitu juga Maria. Riana terkejut Maria berdiri, tapi dilihatnya senyum jahil yang terbentuk di bibir Maria. “Minggirlah,” ucap Riana dengan bercanda. Mau tidak mau, Maria minggir dan berkata,”Jadi siapa yang bilang tidak akan diajak makan siang, hmm?” Kana tertawa mendengar hal itu. Riana hanya tersenyum kecil sebelum pergi seperti Elvin. Kana mengambil gelas berisi lemon tea lalu menyeruputnya sedikit. Maria kembali duduk dan mengambil gelasnya, meminum setengah isi gelas. Baru saja dia akan mengucapkan sesuatu pada Kana, dirasakannya telepon genggam di saku celananya bergetar. Kana hanya menatap Maria yang sedang membaca pesan di teleponnya, dan entah bagaimana, dia sudah tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Maria membalas pesan itu dengan cepat lalu menoleh melihat Kana. Awalnya dia gugup, tidak sanggup mengatakan isi pesannya, tapi setelah melihat Kana tersenyum, Maria tahu kalau temannya itu mengetahui isi pesan itu. Jadi dia beranjak dari kursi dengan menggumamkan permintaan maaf, lalu pergi keluar kafe. Kana, seorang diri, menatap ke luar jendela lagi, entah sedang meratapi nasibnya atau kesal melihat teman – temannya pergi meninggalkannya untuk bertemu pacar mereka. Kana memang tidak mempunyai pacar, bahkan dia tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta. Dia sadar dia dianggap aneh, tapi teman – temannya selalu bilang kalau dia hanya belum menemukan jodohnya saja. Dia juga masih fokus pada kuliah dan  pekerjaan sampingannya untuk membiayai kuliahnya juga biaya apartemennya. Tidak pernah terpikir untuk jatuh cinta pada seseorang. Sebuah seruan di luar kafe menyadarkan dirinya dari lamunan. Dia melihat seorang wanita menunjuk sekaligus menyerukan sesuatu ke seseorang di kerumunan pejalan kaki di zebra cross. Karena masih setengah sadar, Kana tidak mendengar apa yang diserukan wanita itu. Yang bisa dilihatnya hanya pejalan kaki yang ditunjuk itu kini berlari kecil, berusaha keluar dari kerumunan orang di zebra cross. Orang – orang yang berada di zebra cross itu mulai memandangi pejalan kaki itu. Beberapa dari mereka, gadis dan wanita, mulai berteriak histeris dan mengejar pejalan kaki itu sampai mereka semua hilang di belokan. Orang – orang yang berada di dalam kafe terheran – heran, termasuk Kana. Namun suasana itu tidak bertahan lama. Para pengunjung kafe melanjutkan perbincangan mereka yang terputus atau melanjutkan makan dan minum mereka. Para pelayan mengantarkan pesanan ke meja – meja atau kembali menanyakan pesanan. Hanya Kana yang masih memandang ke belokan tempat pejalan kaki misterius tadi hilang dikejar rombongan gadis dan wanita. Lalu dia melihat sesosok pria muncul dari belokan tersebut. Pria itu mengenakan jaket panjang yang menutupi sebagian tubuhnya. Dia juga memakai kacamata hitam dan topi. Kana memandangi pria itu, merasa pernah melihatnya. Pria itu membawa kopor berodanya sambil menoleh ke belakangnya, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Akhirnya Kana ingat. Pria itu yang tadi dikejar – kejar rombongan gadis dan wanita. Dia melihat pria itu masuk ke kafe, dan tanpa memedulikan sekitarnya, dia berjalan ke arah meja Kana. Dengan tenang dia duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Maria dan Riana. Kana memandangnya dengan mata terbelalak. Pria itu memanggil pelayan, meyebutkan pesanannya tanpa melirik sekalipun ke arah Kana. Setelah pelayan itu pergi, dia membuka jaket panjangnya, menghela napas  dan akhirnya menoleh menghadap Kana.
“Kau tidak keberatan aku duduk di sini kan?” ucapnya tenang.
****
“Apa maksudmu dengan pergi sendiri, Ichii? Bukankah sudah kubilang kita akan pergi besok. Dan kenapa kamu memilih untuk tinggal di apartemen, hah! Kau ingin agar media massa mengetahui lokasimu lalu kau berbahagia dengan pertanyaan – pertanyaan yang mereka ajukan… Kau ini selalu melakukan semuanya sesuka hatimu,” oceh seorang pria di telepon. “Bersantai dan menjauhi pekerjaan, karena aku tidak mau kau mengoceh sepanjang hari, tentu tidak, dan memang,” jawab laki – laki bernama Ichii, membalas ocehan teman sekaligus manajernya itu. Dia sedang berada di bandara dan baru saja sampai di sana. Ketika dia sampai di tempat pengambilan bagasi, dia menyalakan telepon genggamnya yang kemudian berbunyi. Manajernya, Iwamoto Akira, meneleponnya setelah mendengar kalau asistennya melihat Ichii pergi dengan taksi sambil membawa kopor. Akira sudah waswas, sebenarnya dia tahu kalau Ichii pasti akan pergi sendiri, tapi dia sudah berusaha untuk menahannya dan usahanya sia – sia. Kini ketika Ichii mengangkat panggilan telepon dari Akira untuk yang kesekian kalinya, dia mengoceh panjang lebar, menceramahi aktor itu dengan setiap kosakata yang dia miliki. “Ichii, kau…” Ichii langsung memutus sambungan telepon sebelum temannya itu ‘menyanyi’ lagi. Dia hanya menghembuskan napas lega. Tachibana Ichii, aktor campuran Prancis-Jepang itu berdiri melihat deretan kopor dan tas keluar. Dia mengambil kopor hitamnya yang baru keluar, lalu keluar bandara untuk mencari taksi. Tidak butuh waktu lama untuk memanggil taksi. Dia masuk dan berkata pada supir taksinya untuk membawanya ke pusat kota. Dia ingin memanjakan dirinya untuk sehari itu.
****
Taksi itu menurunkannya di jalan yang ramai di pusat kota Surabaya. Yah, dia memang baru tiba di Surabaya tadi dan betapa lelahnya Ichii setelah penerbangan lama itu. Dia membayar ongkos taksi lalu berjalan keluar di trotoar. Pusat kota itu terlalu penuh dengan jalan raya daripada trotoar juga gedung – gedung tinggi. Ichii menyerap semua yang dilihatnya, mobil – mobil yang berlalu lalang, para pedagang kaki lima yang duduk diam menunggu seseorang untuk membeli barang mereka, pepohonan yang jarang. Dia menggeret kopor berodanya dan berjalan lurus tanpa tujuan. Dia berbelok ke gang yang agak lebar dan menemukan jalanan yang ramai. Akhirnya dia melihat kafe di seberang jalan itu. Dia sudah merasa kepanasan sejak di bandara. Apalagi karena memakai jaket panjang untuk menutupi identitas dan wajahnya itu. Dia tidak menyangka kalau sedikit orang yang memerhatikannya sampai dia menyenggol seorang wanita. Kacamata hitamnya, yang basah karena keringat, terlepas sedikit namun tidak jatuh. Lalu kejadian itu terjadi begitu singkat.
Wanita itu mengenali siapa dia dan meneriakan namanya. Beberapa dari pejalan kaki mulai melihat wajahnya sebelum akhirnya berteriak histeris dan mengerumuninya. Ichii tidak ingin bertemu dengan fans – fansnya sekarang. Dia hanya ingin menikmati hari santainya. Otaknya langsung berpikir cepat dan menggerakkan otot – otot kakinya untuk lari. Tentu saja fans – fans Ichii mengejarnya. Untunglah saat di belokan, Ichii menemukan celah kecil untuk bersembunyi sebelum rombongan fansnya menyusulnya. Tidak ada yang menduga kalau Ichii bersembunyi di celah kecil itu. Setelah melihat rombongan fansnya menjauh, Ichii baru berani keluar dari celah kecil itu, membenarkan letak kacamata hitamya, merapatkan jaket panjangnya, lalu berjalan kembali ke jalan tadi. Dia menoleh ke belakang memastikan tidak ada seorang pun fansnya yang mengikutinya. Dia menahan napas saat memasuki kafe yang ditujunya, tidak berani melihat ke sekitarnya. Dia melihat kafe itu sudah penuh pengunjung sebelum dia melihat meja di pojok ruangan. Meja itu untuk empat orang dan berada di dekat jendela, tempat favoritnya. Dilihatnya sosok gadis, seorang diri, duduk menghadapnya. Gadis itu terlihat terkejut dengan kehadirannya, begitu juga dirinya, terkejut mendapati dirinya dengan mulus berjalan ke meja itu. Ichii duduk di kursi yang menghadap ke gadis itu dengan tenang, meski sesungguhnya dia tegang. Dia memberanikan diri memanggil pelayan dan memesan espresso. Dia bisa merasakan kalau gadis itu mamandanginya. Setelah pelayan yang dipanggilnya pergi, dia berbalik mengahadap gadis itu, melepas jaketnya tanpa melirik ke gadis di depannya. Dia menghela napas untuk merelaksasikan dirinya. Kalimat yang bisa dia ucapkan hanya, “Kau tidak keberatan aku duduk di sini kan?”
****
Kana diam sejenak, menyerap kata – kata laki – laki di hadapannya sebelum menganggukkan kepalanya. Dia bisa melihat laki – laki itu menghembuskan napas lega. Lalu dengan gugup, Kana memandang ke luar jendela lagi. Tidak ada yang berbicara sampai seorang pelayan mengantarkan pesanan laki – laki itu. Kana mendengar laki – laki di hadapannya mengucapkan terima kasih pada pelayan tadi. Kana melirik ke arahnya. Meski orang itu sudah melepas jaketnya, sepertinya dia tidak mau melepas kacamata hitamnya yang menyembunyikan sebagian wajahnya. Laki – laki itu sepertinya sadar Kana meliriknya karena dia bertanya,”Kau mengenaliku?”. Kana menggelengkan kepala. Tentu saja aku tidak tahu siapa dirimu kalau kau tidak memperkenalkan dirimu, ucap Kana dalam hati. “Sungguh, kau tidak mengenaliku?” tanya laki – laki itu lagi dengan nada keheranan yang terdengar jelas. “Iya,” jawab Kana tegas. Laki – laki itu terdiam mendengar jawaban Kana. Kana merasa mata laki – laki itu membelalak di balik kacamata hitamnya. Kana memandangi sosok di depannya sedang berpikir, lalu laki – laki itu menoleh ke belakang meja, dan akhirnya memutuskan sesuatu. “Jangan berteriak kalau kamu sudah melihat wajahku,” gumamnya dengan tangan memegang gagang kacamata hitamnya. Kana mengangguk tanpa pikir panjang. Laki – laki itu menghembuskan napas sebelum melepas kacamata hitamnya. Laki – laki itu juga melepas topinya. “Sekarang kau mengenaliku?” tanyanya tegas dengan sedikit jejak kegugupan. Kana memerhatikan wajah laki – laki itu. Rambutnya hitam kecoklatan, terpotong rapi dengan poni miring. Wajahnya juga terawat dan bisa dibilang menawan. Alisnya rapi di atas mata biru jernih. Kana merasa ada sesuatu yang tidak asing dari laki – laki di hadapannya, tapi Kana tidak bisa memastikan siapa laki – laki ini. Akhirnya Kana menggelengkan kepala. Laki – laki itu membelalak tidak percaya. Sebelum laki – laki di depannya berkata atau bertanya lagi, Kana berkata,”Aku merasa pernah –bahkan sering- melihatmu, tapi aku tidak yakin aku mengenalimu.” Laki – laki itu terdiam sejenak lalu mengangguk. “Kau tahu Tachibana Ichii? Aktor campuran Prancis-Jepang itu?” laki – laki seperti memberi petunjuk tentang siapa dirinya meski Kana tidak memahami apa hubungan laki – laki itu dengan aktor yang disebutnya ini. “Iya, aku tahu dia. Memang apa hubunganmu dengan Tachibana Ichii?” balas Kana. Laki – laki itu tertawa, membuat Kana tersentak kaget. Kenapa laki – laki ini tertawa, pikir Kana dengan satu alisnya terangkat. “Kau bahkan masih tidak tahu aku setelah aku bertanya,” kata laki – laki itu, “Akulah Tachibana Ichii,” lanjutnya, mengakui dirinya sebagai aktor blasteran itu. Kana terdiam, terkejut mendengar kata – kata laki – laki di hadapannya. Dia, Tachibana Ichii? Kana mulai melihat laki – laki itu lebih saksama dengan gambaran Tachibana Ichii di kepalanya. Lalu dia baru sadar kalau laki – laki itu memang mirip, bahkan mungkin, memang Tachibana Ichii. Itulah kenapa Kana merasa laki – laki di hadapannya ini tidak asing. Kana mengangguk seolah baru mendapat pemahaman. Ichii hanya diam saja melihat Kana, menunggu reaksi dari gadis itu. Lalu Kana teringat sesuatu,”Kalau kamu memang Tachibana Ichii, kenapa kamu bisa berbahasa Indonesia?” tanyanya dengan penuh keingintahuan. Ichii terdiam sebentar, berpikir untuk menjawab atau tidak. “Yah, sedikit rumit untuk memberitahumu. Jadi nenek dari ibuku adalah orang Indonesia yang menikah dengan kakekku yang orang Prancis. Lalu ibuku yang blasteran Prancis-Indonesia menikah dengan ayahku yang orang Jepang. Jadi sebenarnya aku campuran dari tiga Negara. Dan bagaimana aku bisa mahir berbahasa Indonesia, karena aku tinggal bersama nenekku selama lima tahun, terkadang aku juga berbicara dengan ibuku dalam bahasa Indonesia, selain dengan Prancis,” jelas Ichii, dia terlihat tenang saja menjawab Kana tentang keluarganya. Kana, yang mendengarkan dengan saksama, mengangguk lalu meminum isi gelasnya. Ichii juga meminum espressonya dengan mata tertuju ke wajah Kana. Gadis ini cantik juga, pikirnya dalam hati. “Jadi siapa namamu?” tanyanya masih memandangi Kana. Kana memandang Ichii, masih ragu. “Kana, Kana Lahari. Senang berkenalan denganmu Tachibana-san,” suara yang keluar dari mulutnya terdengar gugup, begitu juga wajahnya. Ichii tersenyum melihat Kana,”Kamu tidak usah gugup seperti itu. Yah, memang aku yakin kamu terkejut aku tiba – tiba duduk di mejamu. Tapi itu karena meja yang lain penuh dan kulihat kamu sedang sendiri dan kakiku berjalan sendiri ke mejamu. Bisa kulihat kamu tidak berteriak atau meminta tanda tanganku setelah aku menyebutkan namaku.” Kana tertawa kecil membuat Ichii yang kebingungan sekarang. “Jadi kau ingin aku melakukan itu, berteriak dengan heboh lalu meminta tanda tanganmu? Kau kecewa aku tidak seperti fans – fansmu yang tadi melakukan itu di tengah jalan?”goda Kana dengan keberanian yang muncul tiba- tiba. “Oh, tentu tidak. Hanya saja, kamu tahu, kalau kamu sedang berhadapan dengan seorang aktor, biasanya itu yang akan kamu lakukan, iya kan?” Ichii tersenyum saat mengatakan opininya yang memang benar. Kana terdiam tetapi tersenyum,”Mungkin kalau aku adalah temanku hal itu yang akan kulakukan tadi. Sayangnya, aku bukan orang yang mudah tergila – gila untuk seorang aktor tampan. Jadi kau bisa menyimpan ketampananmu itu untuk fans – fansmu,” Kana masih tersenyum. Dia melihat Ichii kaget namun langsung tertawa. Mereka berdua tertawa bersama untuk waktu yang sebentar, lalu Kana merasakan teleponnya bergetar. Dia melihat layarnya dan terkejut. Ichii keheranan melihatnya. “Ada apa?” tanya Ichii berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kana mengambil tas selempangnya lalu beranjak dari kursi,”Maaf, aku masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Sampai bertemu lagi, Tachibana-san.”
“Tunggu, bagaimana dengan minu-“ bahkan Ichii tidak sempat untuk menahan Kana,“manmu yang banyak ini…” lanjutnya pada dirinya sendiri. Laki – laki itu hanya bisa melihat gadis itu keluar kafe, memanggil taksi, dan pergi begitu saja entah ke mana. “Sial, kenapa selalu saja ada hal yang menghalangiku untuk menikmati waktu luangku. Bahkan aku tidak sempat menanyakan di mana dia tinggal atau nomor teleponnya. Ah, apa hari ini akan menjadi lebih buruk,” umpat Ichii kesal lalu duduk di kursi. Laki – laki itu berharap bisa bertemu Kana lagi dalam waktu dekat.


 Thank You For Reading! ^0^
Ini sebenarnya ketikan di lappy yang gak ada judul sama sekali, maklum ide cerita sama judul gak muncul barengan..... -_-''
Oh, iya! Nama Kana di sini gak sama dengan Kana di Red Tulip ><
Hope You Like It!
NB:Sori banget kalo menurut kalian latar kota Surabayanya gak mirip sama kota asli >< 
Soalnya idenya sendiri gak ada setting kotanya jadi sori banget!! >m<
Mohon kritik dan saran. owo

Rabu, 09 Mei 2012

My Only Snow White - He Is Different


Ketukan di pintu kamarku membuatku terbangun, disusul suara tidak asing yang setiap harinya aku dengar,”Nona, ayo, bangun. Sarapan sudah siap di bawah.”
            “Iya, Bi,” sahutku dari dalam kamar. Aku mendengar langkah kaki turun ke bawah. Aku segera mengambil kacamata di meja belajarku lalu membuka jendela untuk membiarkan udara pagi masuk. Angin yang hangat berlomba – lomba masuk ke kamarku. Aku menatap kosong rumah – rumah yang berdempetan serasa melihat orang – orang yang berdesakan dalam kendaraan umum. Aku berbalik menuju pintu kamarku, bersiap – siap ke sekolah.
****
            Aku tidak melihat sosok wanita tinggi dengan gaya glamour-nya maupun laki – laki tinggi tegap dengan potongan kumis rapi. Seperti pagi – pagi biasanya. Hanya Bi Margareth di dapur, Pak Kasmir di garasi, dan aku di ruang makan, menyantap sarapan dalam keheningan. Aku mengambil piring dan gelas lalu pergi ke dapur. “Nona, sudah dibilang berapa kali, tidak usah membawa piring – piring kotor itu ke sini, biar aku saja yang membawanya,” Bi Margareth memberitahuku sambil menatapku penuh arti. “Tidak apa – apa, kok, Bi. Panggil saja aku Yuki, bukankah aku juga sudah memberitahu bibi berkali – kali tentang hal itu?” balasku penuh percaya diri namun tetap menjaga nada suaraku. Bi Margareth menatapku lama sebelum tertawa kecil lalu mengambil piring dan gelas di tanganku,”Kamu anak yang baik, Yuki. Sayang, mama dan papamu tidak tahu hal itu. Mereka terlalu sibuk bekerja. Sabar, ya, Yuki.”
            Aku tersenyum menatap punggung wanita yang sudah cukup berumur itu. Dia sangat baik, dia juga yang merawatku sejak kecil, selain Mamaku yang hanya merawatku hingga aku masuk TK. Aku melihat jam dinding yang tergantung di atas dapur. Mengetahuinya, aku langsung mengambil tasku dan membuka pintu,”Aku berangkat dulu, ya Bi,” anggukan kepala menjadi balasannya seperti biasa. Aku keluar menemui Pak Kasmir yang sudah duduk di kursi pengemudi, siap untuk mengantarku ke sekolah. Aku masuk ke mobil itu, tidak mau membuat sopir sabar itu menunggu terlalu lama. Setelah tahu kalau pintu penumpang sudah tertutup rapat, Pak Kasmir melajukan mobil keluar halaman rumah, menuju Sky High.
****
            “Yuki!” sapa Sanni dengan ceria. Aku tersenyum membalas sapaannya setiap pagi.
Sanni adalah teman sekelasku. Dia selalu ceria dan selalu tersenyum. Dia ikut ekskul cheerleader, sama seperti Monica. Dia orang yang supel, berkebalikan denganku yang pendiam dan penyendiri. Seluruh anak kelasku berteman baik dengannya. Sifatnya juga baik dan jujur.
Aku pergi ke tempat dudukku yang ada di barisan paling belakang. Aku meletakkan tasku dan duduk di kursi yang dingin itu, menatap ke depan, entah apa yang aku lihat. Akhirnya aku menoleh, menatap anak yang duduk di sebelahku. Rambut hitam itu menutupi wajahnya yang menghadap ke permukaan meja, dia tidur seperti pagi biasanya. Caesar –itu namanya– selalu seperti itu. Menurutku pribadi, sifat dan namanya itu tidak cocok. Nama Caesar berarti kaisar yang tegas dan dihormati karena kepemimpinannya, tapi Caesar yang ini lebih sering bercanda, tidak tegas bahkan terkadang aku lihat dia selalu berkumpul dengan perempuan yang berganti terus tiap harinya,meski aku akui nilainya lumayan.entah karena tatapanku atau karena insting, dia terbangun dari tidurnya dan menoleh, mendapati kalau aku sedang menatapnya. “Ah, Putri sudah datang? Maaf, hamba tidak menyapa anda tepat waktu. Pagi, Yang Mulia Snow White,” sapanya dengan candaan dan senyumnya yang –cukup– menawan. Aku menoleh menghadap arah yang berlawanan sebagai balasan sapaan yang aku tidak suka itu. Entah dia sengaja atau tidak, aku tidak suka mendengar panggilan ‘Putri’ maupun ‘Snow White’. “Ah, Putri marah, ya. Jangan marah, aku cuma bercanda, kok, Yuki,” ucapnya memohon saat melihat tindakanku. Mereka, yang melihat ‘komedi’ tidak lucu ini –menurutku– tertawa dan mulai berkumpul di meja Caesar. Aku kembali menatap meja Caesar yang kini ramai dengan teman – temannya. Mungkin aku memang tidak suka disapa seperti itu, tapi hanya dia satu – satunya anak laki – laki di kelasku yang menyapaku setiap pagi. Aku merasa….bersyukur, karena dia yang duduk di sebelahku dan bukan anak laki – laki lain yang tidak mungkin berani menyapa Snow White tidak ramah ini. Aku menatap meja Caesar yang penuh itu hingga bel masuk berbunyi.
****
“Yuki, sudah kamu kumpulkan?”
“Iya, ini Kakak lihat saja sendiri,”
Aku sedang berada di ruang ekskul drama, membahas lomba – lomba drama yang ada di sekitar sekolah dengan ketua ekskul ini, Ko Sammy. Setelah ada lomba yang dipilih, Ko Sammy akan mengajukannya ke pembimbing kami. “Kalau yang ini bagaimana? Lokasinya tidak jauh dari sini,” kata Sandra, sekretaris ekskul drama. “Tapi jangka waktunya terlalu singkat untuk latihan,” sahut Loki, bendahara ekskul drama. Hanya tiga orang ini beserta aku, yang menjabat wakil ekskul drama, berdiskusi dengan serius tentang lomba – lomba, sedangkan anggota ekskul ini sedang bermalas – malasan di dalam ruangan yang cukup besar ini. Mereka duduk berkelompok, membahas sesuatu yang tampaknya tidak kalah penting dengan lomba drama yang kami bahas. Caesar duduk tidak jauh dari tempat kami berdiskusi. Ya, dia ikut ekskul ini. Aku sendiri terkejut mengetahui anak laki – laki yang aku kenal itu masuk ke ruang ekskul ini. Dia pasti ikut karena tahu kalau ekskul ini lebih mempunyai waktu luang daripada waktu serius. Aku kembali berdiskusi dengan yang lainnya, tidak sadar kalau Caesar menatapku.
****
            “Sekian untuk hari ini. Aku harap ada yang bisa memberi saran tentang drama apa yang akan kita mainkan. Kalian boleh pulang,” seru Bu Catharina lantang. Aku bangkit dengan lelah setelah diskusi yang lama. Anak – anak yang lain sudah berhamburan keluar ruangan dengan semangat. Aku keluar setelah gerombolan anak perempuan, tiba – tiba aku merasa ada yang memegang pundakku. Aku berbalik melihat Ko Sammy di hadapanku,”Makasih, ya, sudah mencari info lomba – lomba drama. Maaf kalau aku sudah menyusahkanmu,” dia mengatakan itu dengan lembut. Aku hanya menggelengkan kepala sebelum dia keluar dengan melambaikan tangan padaku. Aku membalas lambaiannya saat Caesar muncul dari belakangku. “Kamu sangat akrab dengannya, ya, Snow White. Seperti putri dan pangeran,” godanya melihat aku membalas lambaian Ko Sammy. “Apa maksudmu dengan putri dan pangeran? Aku dan Ko Sammy hanya berteman, itu saja. Dan berhentilah memanggilku Snow White,” jawabku ketus. “Hmm, benarkah?” tanyanya lagi, membuat emosiku memuncak. “Iya!” seruku dengan emosi. “Oke…oke. Jangan cepat marah seperti itu, nanti cantiknya hilang, Yuki,” ucapnya lembut, membuat emosiku turun drastis. Aku hanya tetap berjalan sampai ke gerbang sekolah tanpa menoleh ke belakang. “Menunggu mobilmu seperti biasa?” aku terkejut mendengar suara Caesar yang ternyata masih ada di belakangku. “Iya,” jawabku agak lama. “Papamu yang menjemput?” tanyanya lagi. “Bukan,” balasku singkat. “Siapa?” dia seperti menuntutku saat bertanya. “Sopirku,” jawabku menyerah. Aku siap kalau dia menggodaku lagi, tapi dia tidak melakukan itu, justru sebaliknya. “Oh, aku pikir papamu yang menjemputmu tiap harinya. Papamu sibuk bekerja, ya? Mamau juga kan? Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah kabur dari rumah atau menjadi berandalan di sekolah supaya mereka mengetahui keberadaanku. Kamu hebat, ya, tidak egois padahal kamu kesepian kan. Aku temani sampai mobilmu datang, ya.”
Aku merasa tersentuh dengan ucapannya. Aku menahan air mataku agar tidak tumpah. Aku tidak pernah tahu ada laki – laki sebaik dia. Aku pikir dia akan menggodaku seperti kebanyakan anak laki – laki lain, tapi bukannya menggodaku dia malah menghiburku. Caesar benar, selama ini aku kesepian, seperti ada lubang besar dalam hatiku . Lubang itu sudah ada sejak orang tuaku kembali ke kesibukan mereka, tanpa sekalipun menoleh padaku. Lubang itu terus membesar meskipun aku sudah mempunyai teman yang selalu ada di sisiku. Tidak ada yang bisa menutupnya, sampai saat ini. Sampai Caesar menghiburku. Lubang itu mulai tertutup karena hiburan yang diberinya. Aku merasa tenang, damai, dan…bahagia.

Don't Think That I'm Arrogant!

Hola! Gara-gara bingung mau post ap jadi aku putusin buat post 'ini' aj -w-
Hope you like it and don't think that i'm arrogant! <(>o<)>

Kalo yang di bawah ini ak bikin pas lagi senggang banget owo. Padahal masih masanya try out -w-. Btw, itu pake tinta bak cina. owo


Kalo yang ini pas lagi pengen gambar kartun yang kadang ada di tepak, frame photobox ,dll.

 Kalo yang ini dari Vocaloid >w<, aku paling suka Kagamine Rin Len *0*

And that's all! Hope you enjoy it ;D

Selasa, 08 Mei 2012

Red Tulip - The Confession


Cahaya matahari pagi merembes masuk dari sela – sela jendela kamarku. Benar – benar menyilaukan sekaligus menyebalkan. Aku tidak ingin pergi ke sekolah apalagi kalau bertemu Alley. Sejak Yuki memberitahuku semua yang dia lihat, aku selalu menghindari Alley. Dan sekarang sudah hari keenam aku menghindarinya, tepat saat hari ulang tahunku. Aku bangkit dari tempat tidur dengan malas dan melihat layar HP di meja pendek yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Jam lima lewat tiga puluh tepat. Tanpa memedulikan waktu aku keluar dari kamar, mempersiapkan diri untuk ke sekolah dengan malas.
****
            “Kana,” Aku mendengar suara di dekatku.
            “Kana,” suara itu terdengar familiar.
            “KANA!” aku tersentak dan bangun dari tidur singkatku. Aku kebingungan melihat sekelilingku, tidak tahu di mana aku berada. Masih kebingungan, aku melihat Monica dengan wajahnya yang khawatir, langsung saja otakku bekerja lalu aku teringat kalau aku ada di kelasku. “Kamu tidak apa – apa? Mukamu pucat. Akhir – akhir ini kamu tidak seperti biasanya, ada apa? Kamu sedih karena tidak mendapat kiriman tulip lagi?” tanyanya sedikit bercanda. Ah, iya, sudah lima hari aku tidak mendapat kiriman tulip lagi. Aku hanya menggelengkan kepala dengan lemas dan tersenyum. Sepertinya responku tidak berhasil membuat Monica tenang, dia malah menjadi – jadi. “Kamu mau aku antar ke UKS? Atau kamu mau pulang? Ah, atau kita harus ke rumah sakit?” ucapnya seperti kesurupan. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang mondar – mandir di depanku. “Tenanglah, aku tidak apa – apa. Aku sehat, hanya sedikit mengantuk,” suaraku terdengar lemah saat keluar dari mulutku. Monica melihatku masih dengan wajah khawatirnya,”Yakin?” tanyanya penuh perhatian. Aku mengangguk lalu senyum mengembang di wajahnya. Dia memelukku lalu beralih ke mejanya, mengambil sesutau dari tasnya. “Ini, happy birthday,” ucapnya sambil menyerahkan kotak kecil berwarna merah dengan pita putih. Aku kaget dan menerimanya dengan senang hati. “Boleh kubuka?” dia membalas dengan anggukan penuh semangat. Saat kubuka hadiah kecil itu, aku terkejut melihat isinya. Sebuah gelang, berbentuk kepang, berwarna perak dan merah mengkilat ditambah bandulan berbentuk bintang merah terletak di tengah kotak itu. “Kau suka?” wajah Monica mendekat saat bertanya. “Tentu saja, thanks,” balasku dengan senyumku yang muncul begitu saja. “Untunglah. Sekarang kita punya sesuatu yang sama. Kemarin aku juga memberi Yuki gelang yang serupa, hanya warnanya saja yang beda. Nih,” dia menunjukkan gelang yang sama persis dengan yang kuterima, hanya warnanya perak dan biru. “Punyanya Yuki berwarna perak ungu,” aku mengangguk tanpa diminta. Tiba – tiba bel masuk terdengar nyaring menembus telinga kami, spontan aku dan Monica duduk di kursi masing – masing. Aku cukup senang menerima hadiah dari Monica pagi itu, meski aku lebih mengharapkan melihat setangkai tulip merah dengan catatan puitisnya di atas mejaku.
****
            “Eh, Alley kok tidak menampakkan batang hidungnya dari minggu lalu? Kamu tahu penyebabnya, Kana?” untuk kesekian kalinya, aku tersentak kaget dari lamunanku. “Apa?” tanyaku polos. Monica dan Yuki melihatku dengan khawatir,”Akhir – akhir ini kamu lebih sering melamun, kenapa?” tanya Monica dengan kekhawatiran lagi. Yuki memandangku dengan penuh perhatian seolah aku adalah bayi yang harus diasuhnya. Aku menggeleng dan melahap roti yang dari tadi kupegang. Kedua temanku itu akhirnya menyrah, mengetahui kalau aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. Kami sedang berada di halaman sekolah, menyantap makanan di waktu istirahat, saat hal yang benar – benar tak terduga terjadi.
Lagu klasik yang tersiar dari setiap speaker pemberitahuan di sekolah berhenti begitu saja. Aku dan kedua perempuan di sebelahku spontan mendongak melihat speaker yang ada tidak jauh dari kami. “Tes…tes… Ehm, aku harap aku tidak mengganggu waktu istirahat kalian semua. Ah, namaku Mike dari kelas delapan tiga, bertugas sebagai pengawas ruang siaran hari ini, dan pada hari yang penting untuk seseorang, aku akan menyerahkan ruang siaran ini untuk seorang temanku selama lima menit,” suara laki – laki di speaker itu berhenti disusul suara laki – laki lain yang terdengar familiar di telingaku,”Ehm, ah, aku Alley dari kelas delapan tiga dan aku akan memakai ruang siaran ini selama lima menit. Ehm, pertama aku ingin meminta maaf pada seseorang yang tidak kutemui akhir – akhir ini, tapi itu semua karena aku menyiapkan semua ini, termasuk meminta ijin pada guru yang bertanggung jawab terhadap ruang siaran ini. Kedua, aku juga ingin meminta maaf kalau kamu tidak menemukan kejutan lagi setiap paginya sejak minggu lalu. Itu karena aku menabung untuk membeli hadiah untukmu hari ini, dan yang kumaksud dengan kejutan itu adalah tulip merah dan catatan kecil. Ya, aku yang meletakkan hadiah itu di mejamu, dan bisa kulihat kamu sangat menyukainya,” Jantungku berdegup kencang mendengarnya dan aku merasa pipiku memerah. Apa aku tidak salah dengar? Apa aku tidak sedang bermimpi? Apa ini benar – benar terjadi? “Ehm, dan yang ketiga untuk orang yang kumaksud, aku harap kamu mau menemuiku sekarang di ruang siaran ini sebelum waktuku habis,” Aku masih duduk dengan kaku, tidak beranjak dari posisiku. “Kana! Apa yang kamu lakukan? Ayo, sana temui pangeranmu!” seru Monica melihatku todak beranjak.
“Mungkin…dia hanya bercanda. Tunggu saja sebentar lagi, dia pasti akan bilang kalau dia hanya bercanda untuk hari ulang tahunku,” balasku gugup, hatiku tidak percaya akan apa yang keluar dari mulutku.
“Jangan bersikap seperti orang bodoh. Dia memanggilmu, dia menyiapkan ini semua. Kalau dia bercanda, lalu untuk apa dia memberimu tulip dan puisi – puisi romantisnya. Sudah cepat pergi sana,” paksa Monica. “Pergilah, Kana. Atau kamu akan menyesal nantinya,” tambah Yuki. Aku terdiam mendengar itu semua. Dalam kepalaku aku mendengar suara yang setuju akan hal itu, hatiku juga ingin agar aku segera menemui Alley, tapi otakku berkata yang lain. Akhirnya dengan sedikit harapan –sangat sedikit– aku beranjak dan mulai berlari ke ruang siaran. Seluruh orang yang ada di dalam sekolah melihatku seperti melihat sebuah drama televise. Aku sendiri merasa seperti berada di dalam drama itu sendiri. Kakiku bergerak sendiri menuju ke ruang siaran. Aku tiba di lorong yang penuh dengan murid – murid yang ingin tahu. Saat mereka melihatku, jalan langsung terbuka begitu saja untukku. Mereka melihatku, tertarik, saat aku melintas di depan mereka. Setibanya di depan ruang siaran, aku berhenti. Kakiku tidak mau melangkah lebih dari itu. Tanpa diminta, pintu ruang siaran terbuka dari dalam, sebuah tangan terulur menarikku ke dalam. Tubuhku seperti boneka saat ditarik, tidak menolak malah membiarkan itu terjadi. Di depanku, berdiri dengan postur seperti yang biasa kulihat, Alley menatapku dengan mata coklatnya. Aku membalas tatapannya dengan menjaga jarak. Dia bergerak mendekat sedangkan aku diam kaku. Kami berdiri dalam diam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu aku sadar kalau hanya kami berdua yang ada di dalam ruang itu. “Em,” aku terkejut mendengar suara Alley. Aku menatapnya saat dia menyerahkan sesuatu di depanku. Aku mentapnya dengan mata terbelalak, dengan tangan menutup mulutku. Alley menyerahkan buket bunga yang berisi belasan tangkai tulip merah dan sepucuk kertas kecil di atasnya. Aku mengambil buket dari tangannya dan mengambil kertas itu. “Bacalah,” katanya tenang. Aku membalik kertas itu.
Ingat tidak dengan janji kita dulu? Hari ini aku mau menepati janji itu, makanya mau tidak berpacaran denganku?
Aku tidak percaya dengan apa yang kubaca. Jantungku masih berdetak kencang sedangkan hatiku seperti melompat kegirangan. “Ini…sungguhan? Aku tidak bermimpi kan?” ucapku masih tidak percaya. Alley berjalan mendekatiku lalu memelukku begitu saja. “Ini sungguhan,” bisiknya di telingaku,”Jadi apa jawabanmu?” Air mataku mengalir dengan tenang, bukan karena sedih, tapi karena senang. “Iya, aku mau,” jawabku dengan suara yang bergetar. Alley menatapku sukup lama, tampak tidak percaya, lalu senyumnya mengembang begitu saja. “Ah,” serunya sambil berjongkok. “Aku pikir kamu akan menolakku, melihat sikapmu akhir – akhir ini. Syukurlah,” lanjutnya sebelum mendongak menatapku. “Besok aku boleh menjemputmu kan? Bukan sebagai teman sejak kecil, tapi sebagai pacar. Ya?”
“Iya,” jawabku dengan bahagia. Aku tidak menyangka kalau perasaanku akan terbalas. Ini adalah hadiah terbaik yang aku terima, sangat mengagetkan memang, tapi seangat membahagiakan juga…
****
“Alley,”
“Iya?”
“Kamu pernah menemui ceceku di Taman Hijau?”
“Cecemu memberitahumu?”
“Tidak, Yuki melihat kalian. Katanya…kalian berpelukan,”
“Ah, jangan salah paham. Itu hanya pelukan antar saudara saja,”
“Oh, apa yang kalian bicarakan?”
“Aku memberitahunya kalau sarannya untuk memberimu tulip merah berhasil, lalu aku tanya sebaiknya apa yang harus aku beri pada hari ulang tahunmu sekaligus untuk me’nembak’mu. Itu saja. Dia benar – benar tahu apa yang bisa membuatmu senang, jadi aku minta saran padanya, tapi aku minta dia supaya tidak memberitahu tentang diskusi itu,”
“Cuma itu?”
“Cuma itu. Itu Monica. Nanti pulang aku tunggu di depan kelasmu ya,”
“Iya,”
****
“Alley, menurutmu Ce Jilly cantik tidak?”
            “Cecemu?”
            “Iya,”
            “Tentu saja, dia juga terlihat dewasa. Aku suka perempuan seperti itu,”
            “Kamu suka ceceku?”
            “Iya,”
            “Bagaimana denganku? Kamu tidak menyukaiku?”
            “Tentu saja aku menyukaimu. Kamu ini sudah seperti adik perempuanku yang berharga,”
            “Berarti kamu menyukaiku sama seperti kamu menyukai ceceku?”
 “Iya, seperti itulah,”
            “Kalau begitu janjilah padaku satu hal,”
“Apa?”
“Berjanjilah, kalau nanti kamu menyukaiku lebih dari ceceku, kamu akan menjadikanku pacarmu. Bagaimana?”
“Ehm, baiklah. Kalau begitu sini kelingkingmu… Aku berjanji akan menjadikan Kana sebagai pacarku kalau aku menyukainya lebih dari Ce Jilly,”
“Janji harus ditepati, lho”
“Iya, tapi sepertinya itu tidak mungkin terjadi,”
“Siapa bilang. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan kan?”

THE END…


Thank you for reading….
I hope you like it….