Minggu, 13 Mei 2012

No Thing To Type


Panasnya siang hari itu begitu mematahkan semangat orang – orang yang berlalu lalang di zebra cross. Mereka sudah memakai kaos, celana pendek, dan pakaian lain yang bisa mengurangi panas yang ada, tapi tak ada satu pun yang tidak merasakan panas matahari siang itu. Bahkan beberapa dari pejalan kaki itu berhenti di beberapa kafe dan warung di pinggir jalan untuk berteduh dari terik matahari. Termasuk sekelompok gadis yang baru pulang dari tempat kerja mereka. Mereka tidak terlihat mencolok di antara gerombolan orang yang berada di kafe. Mereka memakai baju yang menyatakan mereka bekerja namun bukan pekerja kantoran. Keempat gadis itu memasuki kafe dan disambut gemerincing lonceng yang terdengar riang. Mereka berbincang – bincang sambil berjalan mendekati meja yang bersebelahan dengan jendela lebar kafe. Pada saat seorang pelayan datang, salah seorang dari mereka memesan empat lemon tea. Pelayan itu segera pergi dan membiarkan empat orang gadis itu berbincang – bincang dengan asyik.
 “Apa yang kalian lakukan di studio? Aku dengar kalian mendapat kesempatan memotret seorang aktor tampan dari Prancis. Apa aktor kalian sudah datang?” tanya gadis yang berambut pendek dan bergelombang pada gadis yang tadi memesankan minuman pada pelayan. “Kamu ini selalu mendapat informasi lebih cepat, ya? Iya, kami mendapat kesempatan itu, tapi model itu baru datang besok. Kenapa? Kamu mau berkenalan dengannya, Elvin?” balas gadis itu. Elvin hanya tertawa, “Tentu saja tidak, Maria. Kamu tahu kan kalau aku sudah punya pacar dan sebentar lagi kami akan bertunangan. Tapi kalau kamu memang bersedia memperkenalkan aku dengan model itu, aku akan dengan senang hati menerima tawaranmu,” Elvin tersenyum pada Maria saat dia mengatakan hal itu. Maria tidak bisa menahan senyumannya mendengar teman kuliahnya berkata seperti itu. Elvin selalu bisa membuat orang tersenyum. Elvin menoleh, melihat teman kerja sekaligus teman kuliahnya yang duduk di sebelahnya. Temannya itu sedang memandang ke luar jendela. “Apa yang kamu lihat, Kana?” tanyanya penasaran. Kana, seorang gadis dengan rambut hitam lurus, berbalik menghadap Elvin. Dia sedikit kaget sehingga baru bisa menjawab sedetik kemudian. “Tidak. Tidak ada. Hanya…kau tahu, melihat orang berlalu lalang,” jawabnya seraya mengangkat bahu. Elvin hanya menatap temannya itu sebelum akhirnya tersenyum dan mengajak berbicara dua gadis di hadapannya. Kana kembali memandang keluar jendela, melihat orang – orang berjalan melewati zebra cross. Ada yang menuju ke warung terdekat, ada juga yang berlari memanggil taksi. Dia melihat anak kecil yang digandeng ibunya berjalan di trotoar. Mereka terlihat bahagia. Gambaran – gambaran masa lalu mulai berkelebat di benak Kana. Dia segera menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikirannya itu. “Ada yang salah, Kana?” tanya Elvin, memandangi Kana dengan satu alis terangkat. Kana tersenyum dan menggelengkan kepala. Elvin hanya mengedikkan bahu lalu melihat seorang pelayan yang datang mengantarkan pesanan mejanya. Tepat saat dia akan mengambil gelas tinggi di hadapannya, telepon genggamnya berdering. Ketiga temannya menoleh ke arahnya saat dia mengambil dan menjawab telepon itu. “Kevin? Ada apa… Benarkah? Oke, baiklah tunggu aku di sana. Aku akan segera berangkat. Iya, dah,” dia tersenyum setelah mengucapkan salam perpisahannya pada lawan bicaranya. Kana menatapnya penuh rasa ingin tahu,”Kevin mengajakmu makan siang?” pertanyaan yang meluncur mulus itu menyerukan pikiran Kana. “Iya, ambil saja jatah minumku. Besok aku akan membayarnya,” lalu Elvin pergi, meninggalkan teman – temannya yang masih memandang kepergiannya.
Riana, gadis yang duduk di sebelah Maria menghembuskan napas panjang. Kana menoleh memandang teman semasa sekolahnya itu. Maria juga memandangnya dengan tanda tanya. “Pasti enak kalau diajak makan siang dengan pacar. Aku juga ingin merasakan itu,” Riana memandang ke luar jendela dengan bertopang dagu. “Bukannya kamu sendiri sudah punya pacar juga, apa maksud perkataanmu itu?” balas Maria tanpa diminta. Kana mengangguk setuju dengan Maria meski Riana tidak melihatnya. Riana kembali menghembuskan napas panjang. “Kau tidak akan pergi makan siang dan saat akan berkencan pasti batal karena panggilan dadakan, apabila Steve jadi pacarmu,” jawabnya sambil mendengus. Seakan menyerukan ketidaksetujuan, telepon genggam Riana berdering. Dia melihat nama yang ada di layar teleponnya itu dan senyumnya mengembang. “Halo, Steve… Sungguh? Kamu tidak akan membatalkannya lagi karena seorang pasien yang kritis tiba – tiba kan?... Baiklah. Sampai ketemu di sana,” Riana bangkit berdiri begitu juga Maria. Riana terkejut Maria berdiri, tapi dilihatnya senyum jahil yang terbentuk di bibir Maria. “Minggirlah,” ucap Riana dengan bercanda. Mau tidak mau, Maria minggir dan berkata,”Jadi siapa yang bilang tidak akan diajak makan siang, hmm?” Kana tertawa mendengar hal itu. Riana hanya tersenyum kecil sebelum pergi seperti Elvin. Kana mengambil gelas berisi lemon tea lalu menyeruputnya sedikit. Maria kembali duduk dan mengambil gelasnya, meminum setengah isi gelas. Baru saja dia akan mengucapkan sesuatu pada Kana, dirasakannya telepon genggam di saku celananya bergetar. Kana hanya menatap Maria yang sedang membaca pesan di teleponnya, dan entah bagaimana, dia sudah tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Maria membalas pesan itu dengan cepat lalu menoleh melihat Kana. Awalnya dia gugup, tidak sanggup mengatakan isi pesannya, tapi setelah melihat Kana tersenyum, Maria tahu kalau temannya itu mengetahui isi pesan itu. Jadi dia beranjak dari kursi dengan menggumamkan permintaan maaf, lalu pergi keluar kafe. Kana, seorang diri, menatap ke luar jendela lagi, entah sedang meratapi nasibnya atau kesal melihat teman – temannya pergi meninggalkannya untuk bertemu pacar mereka. Kana memang tidak mempunyai pacar, bahkan dia tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta. Dia sadar dia dianggap aneh, tapi teman – temannya selalu bilang kalau dia hanya belum menemukan jodohnya saja. Dia juga masih fokus pada kuliah dan  pekerjaan sampingannya untuk membiayai kuliahnya juga biaya apartemennya. Tidak pernah terpikir untuk jatuh cinta pada seseorang. Sebuah seruan di luar kafe menyadarkan dirinya dari lamunan. Dia melihat seorang wanita menunjuk sekaligus menyerukan sesuatu ke seseorang di kerumunan pejalan kaki di zebra cross. Karena masih setengah sadar, Kana tidak mendengar apa yang diserukan wanita itu. Yang bisa dilihatnya hanya pejalan kaki yang ditunjuk itu kini berlari kecil, berusaha keluar dari kerumunan orang di zebra cross. Orang – orang yang berada di zebra cross itu mulai memandangi pejalan kaki itu. Beberapa dari mereka, gadis dan wanita, mulai berteriak histeris dan mengejar pejalan kaki itu sampai mereka semua hilang di belokan. Orang – orang yang berada di dalam kafe terheran – heran, termasuk Kana. Namun suasana itu tidak bertahan lama. Para pengunjung kafe melanjutkan perbincangan mereka yang terputus atau melanjutkan makan dan minum mereka. Para pelayan mengantarkan pesanan ke meja – meja atau kembali menanyakan pesanan. Hanya Kana yang masih memandang ke belokan tempat pejalan kaki misterius tadi hilang dikejar rombongan gadis dan wanita. Lalu dia melihat sesosok pria muncul dari belokan tersebut. Pria itu mengenakan jaket panjang yang menutupi sebagian tubuhnya. Dia juga memakai kacamata hitam dan topi. Kana memandangi pria itu, merasa pernah melihatnya. Pria itu membawa kopor berodanya sambil menoleh ke belakangnya, memastikan tidak ada yang mengikutinya. Akhirnya Kana ingat. Pria itu yang tadi dikejar – kejar rombongan gadis dan wanita. Dia melihat pria itu masuk ke kafe, dan tanpa memedulikan sekitarnya, dia berjalan ke arah meja Kana. Dengan tenang dia duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Maria dan Riana. Kana memandangnya dengan mata terbelalak. Pria itu memanggil pelayan, meyebutkan pesanannya tanpa melirik sekalipun ke arah Kana. Setelah pelayan itu pergi, dia membuka jaket panjangnya, menghela napas  dan akhirnya menoleh menghadap Kana.
“Kau tidak keberatan aku duduk di sini kan?” ucapnya tenang.
****
“Apa maksudmu dengan pergi sendiri, Ichii? Bukankah sudah kubilang kita akan pergi besok. Dan kenapa kamu memilih untuk tinggal di apartemen, hah! Kau ingin agar media massa mengetahui lokasimu lalu kau berbahagia dengan pertanyaan – pertanyaan yang mereka ajukan… Kau ini selalu melakukan semuanya sesuka hatimu,” oceh seorang pria di telepon. “Bersantai dan menjauhi pekerjaan, karena aku tidak mau kau mengoceh sepanjang hari, tentu tidak, dan memang,” jawab laki – laki bernama Ichii, membalas ocehan teman sekaligus manajernya itu. Dia sedang berada di bandara dan baru saja sampai di sana. Ketika dia sampai di tempat pengambilan bagasi, dia menyalakan telepon genggamnya yang kemudian berbunyi. Manajernya, Iwamoto Akira, meneleponnya setelah mendengar kalau asistennya melihat Ichii pergi dengan taksi sambil membawa kopor. Akira sudah waswas, sebenarnya dia tahu kalau Ichii pasti akan pergi sendiri, tapi dia sudah berusaha untuk menahannya dan usahanya sia – sia. Kini ketika Ichii mengangkat panggilan telepon dari Akira untuk yang kesekian kalinya, dia mengoceh panjang lebar, menceramahi aktor itu dengan setiap kosakata yang dia miliki. “Ichii, kau…” Ichii langsung memutus sambungan telepon sebelum temannya itu ‘menyanyi’ lagi. Dia hanya menghembuskan napas lega. Tachibana Ichii, aktor campuran Prancis-Jepang itu berdiri melihat deretan kopor dan tas keluar. Dia mengambil kopor hitamnya yang baru keluar, lalu keluar bandara untuk mencari taksi. Tidak butuh waktu lama untuk memanggil taksi. Dia masuk dan berkata pada supir taksinya untuk membawanya ke pusat kota. Dia ingin memanjakan dirinya untuk sehari itu.
****
Taksi itu menurunkannya di jalan yang ramai di pusat kota Surabaya. Yah, dia memang baru tiba di Surabaya tadi dan betapa lelahnya Ichii setelah penerbangan lama itu. Dia membayar ongkos taksi lalu berjalan keluar di trotoar. Pusat kota itu terlalu penuh dengan jalan raya daripada trotoar juga gedung – gedung tinggi. Ichii menyerap semua yang dilihatnya, mobil – mobil yang berlalu lalang, para pedagang kaki lima yang duduk diam menunggu seseorang untuk membeli barang mereka, pepohonan yang jarang. Dia menggeret kopor berodanya dan berjalan lurus tanpa tujuan. Dia berbelok ke gang yang agak lebar dan menemukan jalanan yang ramai. Akhirnya dia melihat kafe di seberang jalan itu. Dia sudah merasa kepanasan sejak di bandara. Apalagi karena memakai jaket panjang untuk menutupi identitas dan wajahnya itu. Dia tidak menyangka kalau sedikit orang yang memerhatikannya sampai dia menyenggol seorang wanita. Kacamata hitamnya, yang basah karena keringat, terlepas sedikit namun tidak jatuh. Lalu kejadian itu terjadi begitu singkat.
Wanita itu mengenali siapa dia dan meneriakan namanya. Beberapa dari pejalan kaki mulai melihat wajahnya sebelum akhirnya berteriak histeris dan mengerumuninya. Ichii tidak ingin bertemu dengan fans – fansnya sekarang. Dia hanya ingin menikmati hari santainya. Otaknya langsung berpikir cepat dan menggerakkan otot – otot kakinya untuk lari. Tentu saja fans – fans Ichii mengejarnya. Untunglah saat di belokan, Ichii menemukan celah kecil untuk bersembunyi sebelum rombongan fansnya menyusulnya. Tidak ada yang menduga kalau Ichii bersembunyi di celah kecil itu. Setelah melihat rombongan fansnya menjauh, Ichii baru berani keluar dari celah kecil itu, membenarkan letak kacamata hitamya, merapatkan jaket panjangnya, lalu berjalan kembali ke jalan tadi. Dia menoleh ke belakang memastikan tidak ada seorang pun fansnya yang mengikutinya. Dia menahan napas saat memasuki kafe yang ditujunya, tidak berani melihat ke sekitarnya. Dia melihat kafe itu sudah penuh pengunjung sebelum dia melihat meja di pojok ruangan. Meja itu untuk empat orang dan berada di dekat jendela, tempat favoritnya. Dilihatnya sosok gadis, seorang diri, duduk menghadapnya. Gadis itu terlihat terkejut dengan kehadirannya, begitu juga dirinya, terkejut mendapati dirinya dengan mulus berjalan ke meja itu. Ichii duduk di kursi yang menghadap ke gadis itu dengan tenang, meski sesungguhnya dia tegang. Dia memberanikan diri memanggil pelayan dan memesan espresso. Dia bisa merasakan kalau gadis itu mamandanginya. Setelah pelayan yang dipanggilnya pergi, dia berbalik mengahadap gadis itu, melepas jaketnya tanpa melirik ke gadis di depannya. Dia menghela napas untuk merelaksasikan dirinya. Kalimat yang bisa dia ucapkan hanya, “Kau tidak keberatan aku duduk di sini kan?”
****
Kana diam sejenak, menyerap kata – kata laki – laki di hadapannya sebelum menganggukkan kepalanya. Dia bisa melihat laki – laki itu menghembuskan napas lega. Lalu dengan gugup, Kana memandang ke luar jendela lagi. Tidak ada yang berbicara sampai seorang pelayan mengantarkan pesanan laki – laki itu. Kana mendengar laki – laki di hadapannya mengucapkan terima kasih pada pelayan tadi. Kana melirik ke arahnya. Meski orang itu sudah melepas jaketnya, sepertinya dia tidak mau melepas kacamata hitamnya yang menyembunyikan sebagian wajahnya. Laki – laki itu sepertinya sadar Kana meliriknya karena dia bertanya,”Kau mengenaliku?”. Kana menggelengkan kepala. Tentu saja aku tidak tahu siapa dirimu kalau kau tidak memperkenalkan dirimu, ucap Kana dalam hati. “Sungguh, kau tidak mengenaliku?” tanya laki – laki itu lagi dengan nada keheranan yang terdengar jelas. “Iya,” jawab Kana tegas. Laki – laki itu terdiam mendengar jawaban Kana. Kana merasa mata laki – laki itu membelalak di balik kacamata hitamnya. Kana memandangi sosok di depannya sedang berpikir, lalu laki – laki itu menoleh ke belakang meja, dan akhirnya memutuskan sesuatu. “Jangan berteriak kalau kamu sudah melihat wajahku,” gumamnya dengan tangan memegang gagang kacamata hitamnya. Kana mengangguk tanpa pikir panjang. Laki – laki itu menghembuskan napas sebelum melepas kacamata hitamnya. Laki – laki itu juga melepas topinya. “Sekarang kau mengenaliku?” tanyanya tegas dengan sedikit jejak kegugupan. Kana memerhatikan wajah laki – laki itu. Rambutnya hitam kecoklatan, terpotong rapi dengan poni miring. Wajahnya juga terawat dan bisa dibilang menawan. Alisnya rapi di atas mata biru jernih. Kana merasa ada sesuatu yang tidak asing dari laki – laki di hadapannya, tapi Kana tidak bisa memastikan siapa laki – laki ini. Akhirnya Kana menggelengkan kepala. Laki – laki itu membelalak tidak percaya. Sebelum laki – laki di depannya berkata atau bertanya lagi, Kana berkata,”Aku merasa pernah –bahkan sering- melihatmu, tapi aku tidak yakin aku mengenalimu.” Laki – laki itu terdiam sejenak lalu mengangguk. “Kau tahu Tachibana Ichii? Aktor campuran Prancis-Jepang itu?” laki – laki seperti memberi petunjuk tentang siapa dirinya meski Kana tidak memahami apa hubungan laki – laki itu dengan aktor yang disebutnya ini. “Iya, aku tahu dia. Memang apa hubunganmu dengan Tachibana Ichii?” balas Kana. Laki – laki itu tertawa, membuat Kana tersentak kaget. Kenapa laki – laki ini tertawa, pikir Kana dengan satu alisnya terangkat. “Kau bahkan masih tidak tahu aku setelah aku bertanya,” kata laki – laki itu, “Akulah Tachibana Ichii,” lanjutnya, mengakui dirinya sebagai aktor blasteran itu. Kana terdiam, terkejut mendengar kata – kata laki – laki di hadapannya. Dia, Tachibana Ichii? Kana mulai melihat laki – laki itu lebih saksama dengan gambaran Tachibana Ichii di kepalanya. Lalu dia baru sadar kalau laki – laki itu memang mirip, bahkan mungkin, memang Tachibana Ichii. Itulah kenapa Kana merasa laki – laki di hadapannya ini tidak asing. Kana mengangguk seolah baru mendapat pemahaman. Ichii hanya diam saja melihat Kana, menunggu reaksi dari gadis itu. Lalu Kana teringat sesuatu,”Kalau kamu memang Tachibana Ichii, kenapa kamu bisa berbahasa Indonesia?” tanyanya dengan penuh keingintahuan. Ichii terdiam sebentar, berpikir untuk menjawab atau tidak. “Yah, sedikit rumit untuk memberitahumu. Jadi nenek dari ibuku adalah orang Indonesia yang menikah dengan kakekku yang orang Prancis. Lalu ibuku yang blasteran Prancis-Indonesia menikah dengan ayahku yang orang Jepang. Jadi sebenarnya aku campuran dari tiga Negara. Dan bagaimana aku bisa mahir berbahasa Indonesia, karena aku tinggal bersama nenekku selama lima tahun, terkadang aku juga berbicara dengan ibuku dalam bahasa Indonesia, selain dengan Prancis,” jelas Ichii, dia terlihat tenang saja menjawab Kana tentang keluarganya. Kana, yang mendengarkan dengan saksama, mengangguk lalu meminum isi gelasnya. Ichii juga meminum espressonya dengan mata tertuju ke wajah Kana. Gadis ini cantik juga, pikirnya dalam hati. “Jadi siapa namamu?” tanyanya masih memandangi Kana. Kana memandang Ichii, masih ragu. “Kana, Kana Lahari. Senang berkenalan denganmu Tachibana-san,” suara yang keluar dari mulutnya terdengar gugup, begitu juga wajahnya. Ichii tersenyum melihat Kana,”Kamu tidak usah gugup seperti itu. Yah, memang aku yakin kamu terkejut aku tiba – tiba duduk di mejamu. Tapi itu karena meja yang lain penuh dan kulihat kamu sedang sendiri dan kakiku berjalan sendiri ke mejamu. Bisa kulihat kamu tidak berteriak atau meminta tanda tanganku setelah aku menyebutkan namaku.” Kana tertawa kecil membuat Ichii yang kebingungan sekarang. “Jadi kau ingin aku melakukan itu, berteriak dengan heboh lalu meminta tanda tanganmu? Kau kecewa aku tidak seperti fans – fansmu yang tadi melakukan itu di tengah jalan?”goda Kana dengan keberanian yang muncul tiba- tiba. “Oh, tentu tidak. Hanya saja, kamu tahu, kalau kamu sedang berhadapan dengan seorang aktor, biasanya itu yang akan kamu lakukan, iya kan?” Ichii tersenyum saat mengatakan opininya yang memang benar. Kana terdiam tetapi tersenyum,”Mungkin kalau aku adalah temanku hal itu yang akan kulakukan tadi. Sayangnya, aku bukan orang yang mudah tergila – gila untuk seorang aktor tampan. Jadi kau bisa menyimpan ketampananmu itu untuk fans – fansmu,” Kana masih tersenyum. Dia melihat Ichii kaget namun langsung tertawa. Mereka berdua tertawa bersama untuk waktu yang sebentar, lalu Kana merasakan teleponnya bergetar. Dia melihat layarnya dan terkejut. Ichii keheranan melihatnya. “Ada apa?” tanya Ichii berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk. Kana mengambil tas selempangnya lalu beranjak dari kursi,”Maaf, aku masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi. Sampai bertemu lagi, Tachibana-san.”
“Tunggu, bagaimana dengan minu-“ bahkan Ichii tidak sempat untuk menahan Kana,“manmu yang banyak ini…” lanjutnya pada dirinya sendiri. Laki – laki itu hanya bisa melihat gadis itu keluar kafe, memanggil taksi, dan pergi begitu saja entah ke mana. “Sial, kenapa selalu saja ada hal yang menghalangiku untuk menikmati waktu luangku. Bahkan aku tidak sempat menanyakan di mana dia tinggal atau nomor teleponnya. Ah, apa hari ini akan menjadi lebih buruk,” umpat Ichii kesal lalu duduk di kursi. Laki – laki itu berharap bisa bertemu Kana lagi dalam waktu dekat.


 Thank You For Reading! ^0^
Ini sebenarnya ketikan di lappy yang gak ada judul sama sekali, maklum ide cerita sama judul gak muncul barengan..... -_-''
Oh, iya! Nama Kana di sini gak sama dengan Kana di Red Tulip ><
Hope You Like It!
NB:Sori banget kalo menurut kalian latar kota Surabayanya gak mirip sama kota asli >< 
Soalnya idenya sendiri gak ada setting kotanya jadi sori banget!! >m<
Mohon kritik dan saran. owo

2 komentar:

  1. Apikk pomm .. tp entah kenapa, aku bayangin latarnya di luar negeri .______.
    cuma pas bagian yg pas Kana nebak-nebak Tachibana Ichii itu mnurutku, menurutku lhoo ya, lebih baik Kana e ngga tau ..
    Tp nek gitu ya ndpp kok ..

    pilihan kata e apik :3 -menceramahi aktor itu dengan setiap kosakata yang ia miliki- *mantabb*

    gitu ae se .. 0w0 revoir !

    BalasHapus
  2. tq2! >w<
    iya sih o.o cuma udah kaya gitu -w-''
    makasih lho ^^

    BalasHapus