Cahaya
matahari pagi merembes masuk dari sela – sela jendela kamarku. Benar – benar
menyilaukan sekaligus menyebalkan. Aku tidak ingin pergi ke sekolah apalagi
kalau bertemu Alley. Sejak Yuki memberitahuku semua yang dia lihat, aku selalu
menghindari Alley. Dan sekarang sudah hari keenam aku menghindarinya, tepat
saat hari ulang tahunku. Aku bangkit dari tempat tidur dengan malas dan melihat
layar HP di meja pendek yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Jam lima lewat
tiga puluh tepat. Tanpa memedulikan waktu aku keluar dari kamar, mempersiapkan
diri untuk ke sekolah dengan malas.
****
“Kana,” Aku mendengar suara di
dekatku.
“Kana,” suara itu terdengar
familiar.
“KANA!” aku tersentak dan bangun
dari tidur singkatku. Aku kebingungan melihat sekelilingku, tidak tahu di mana aku
berada. Masih kebingungan, aku melihat Monica dengan wajahnya yang khawatir,
langsung saja otakku bekerja lalu aku teringat kalau aku ada di kelasku. “Kamu
tidak apa – apa? Mukamu pucat. Akhir – akhir ini kamu tidak seperti biasanya,
ada apa? Kamu sedih karena tidak mendapat kiriman tulip lagi?” tanyanya sedikit
bercanda. Ah, iya, sudah lima hari aku tidak mendapat kiriman tulip lagi. Aku
hanya menggelengkan kepala dengan lemas dan tersenyum. Sepertinya responku
tidak berhasil membuat Monica tenang, dia malah menjadi – jadi. “Kamu mau aku
antar ke UKS? Atau kamu mau pulang? Ah, atau kita harus ke rumah sakit?”
ucapnya seperti kesurupan. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang mondar –
mandir di depanku. “Tenanglah, aku tidak apa – apa. Aku sehat, hanya sedikit
mengantuk,” suaraku terdengar lemah saat keluar dari mulutku. Monica melihatku
masih dengan wajah khawatirnya,”Yakin?” tanyanya penuh perhatian. Aku mengangguk
lalu senyum mengembang di wajahnya. Dia memelukku lalu beralih ke mejanya,
mengambil sesutau dari tasnya. “Ini, happy birthday,” ucapnya sambil
menyerahkan kotak kecil berwarna merah dengan pita putih. Aku kaget dan
menerimanya dengan senang hati. “Boleh kubuka?” dia membalas dengan anggukan
penuh semangat. Saat kubuka hadiah kecil itu, aku terkejut melihat isinya.
Sebuah gelang, berbentuk kepang, berwarna perak dan merah mengkilat ditambah
bandulan berbentuk bintang merah terletak di tengah kotak itu. “Kau suka?”
wajah Monica mendekat saat bertanya. “Tentu saja, thanks,” balasku dengan
senyumku yang muncul begitu saja. “Untunglah. Sekarang kita punya sesuatu yang
sama. Kemarin aku juga memberi Yuki gelang yang serupa, hanya warnanya saja
yang beda. Nih,” dia menunjukkan gelang yang sama persis dengan yang kuterima,
hanya warnanya perak dan biru. “Punyanya Yuki berwarna perak ungu,” aku
mengangguk tanpa diminta. Tiba – tiba bel masuk terdengar nyaring menembus
telinga kami, spontan aku dan Monica duduk di kursi masing – masing. Aku cukup
senang menerima hadiah dari Monica pagi itu, meski aku lebih mengharapkan
melihat setangkai tulip merah dengan catatan puitisnya di atas mejaku.
****
“Eh,
Alley kok tidak menampakkan batang hidungnya dari minggu lalu? Kamu tahu
penyebabnya, Kana?” untuk kesekian kalinya, aku tersentak kaget dari lamunanku.
“Apa?” tanyaku polos. Monica dan Yuki melihatku dengan khawatir,”Akhir – akhir
ini kamu lebih sering melamun, kenapa?” tanya Monica dengan kekhawatiran lagi.
Yuki memandangku dengan penuh perhatian seolah aku adalah bayi yang harus
diasuhnya. Aku menggeleng dan melahap roti yang dari tadi kupegang. Kedua
temanku itu akhirnya menyrah, mengetahui kalau aku tidak mau menjawab
pertanyaan itu. Kami sedang berada di halaman sekolah, menyantap makanan di
waktu istirahat, saat hal yang benar – benar tak terduga terjadi.
Lagu
klasik yang tersiar dari setiap speaker pemberitahuan di sekolah berhenti
begitu saja. Aku dan kedua perempuan di sebelahku spontan mendongak melihat
speaker yang ada tidak jauh dari kami. “Tes…tes… Ehm, aku harap aku tidak
mengganggu waktu istirahat kalian semua. Ah, namaku Mike dari kelas delapan
tiga, bertugas sebagai pengawas ruang siaran hari ini, dan pada hari yang
penting untuk seseorang, aku akan menyerahkan ruang siaran ini untuk seorang
temanku selama lima menit,” suara laki – laki di speaker itu berhenti disusul
suara laki – laki lain yang terdengar familiar di telingaku,”Ehm, ah, aku Alley
dari kelas delapan tiga dan aku akan memakai ruang siaran ini selama lima
menit. Ehm, pertama aku ingin meminta maaf pada seseorang yang tidak kutemui
akhir – akhir ini, tapi itu semua karena aku menyiapkan semua ini, termasuk
meminta ijin pada guru yang bertanggung jawab terhadap ruang siaran ini. Kedua,
aku juga ingin meminta maaf kalau kamu tidak menemukan kejutan lagi setiap
paginya sejak minggu lalu. Itu karena aku menabung untuk membeli hadiah untukmu
hari ini, dan yang kumaksud dengan kejutan itu adalah tulip merah dan catatan
kecil. Ya, aku yang meletakkan hadiah itu di mejamu, dan bisa kulihat kamu
sangat menyukainya,” Jantungku berdegup kencang mendengarnya dan aku merasa
pipiku memerah. Apa aku tidak salah dengar? Apa aku tidak sedang bermimpi? Apa
ini benar – benar terjadi? “Ehm, dan yang ketiga untuk orang yang kumaksud, aku
harap kamu mau menemuiku sekarang di ruang siaran ini sebelum waktuku habis,”
Aku masih duduk dengan kaku, tidak beranjak dari posisiku. “Kana! Apa yang kamu
lakukan? Ayo, sana temui pangeranmu!” seru Monica melihatku todak beranjak.
“Mungkin…dia
hanya bercanda. Tunggu saja sebentar lagi, dia pasti akan bilang kalau dia
hanya bercanda untuk hari ulang tahunku,” balasku gugup, hatiku tidak percaya
akan apa yang keluar dari mulutku.
“Jangan
bersikap seperti orang bodoh. Dia memanggilmu, dia menyiapkan ini semua. Kalau
dia bercanda, lalu untuk apa dia memberimu tulip dan puisi – puisi romantisnya.
Sudah cepat pergi sana,” paksa Monica. “Pergilah, Kana. Atau kamu akan menyesal
nantinya,” tambah Yuki. Aku terdiam mendengar itu semua. Dalam kepalaku aku
mendengar suara yang setuju akan hal itu, hatiku juga ingin agar aku segera
menemui Alley, tapi otakku berkata yang lain. Akhirnya dengan sedikit harapan
–sangat sedikit– aku beranjak dan mulai berlari ke ruang siaran. Seluruh orang
yang ada di dalam sekolah melihatku seperti melihat sebuah drama televise. Aku
sendiri merasa seperti berada di dalam drama itu sendiri. Kakiku bergerak
sendiri menuju ke ruang siaran. Aku tiba di lorong yang penuh dengan murid –
murid yang ingin tahu. Saat mereka melihatku, jalan langsung terbuka begitu
saja untukku. Mereka melihatku, tertarik, saat aku melintas di depan mereka.
Setibanya di depan ruang siaran, aku berhenti. Kakiku tidak mau melangkah lebih
dari itu. Tanpa diminta, pintu ruang siaran terbuka dari dalam, sebuah tangan
terulur menarikku ke dalam. Tubuhku seperti boneka saat ditarik, tidak menolak
malah membiarkan itu terjadi. Di depanku, berdiri dengan postur seperti yang
biasa kulihat, Alley menatapku dengan mata coklatnya. Aku membalas tatapannya
dengan menjaga jarak. Dia bergerak mendekat sedangkan aku diam kaku. Kami
berdiri dalam diam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu aku sadar
kalau hanya kami berdua yang ada di dalam ruang itu. “Em,” aku terkejut
mendengar suara Alley. Aku menatapnya saat dia menyerahkan sesuatu di depanku.
Aku mentapnya dengan mata terbelalak, dengan tangan menutup mulutku. Alley
menyerahkan buket bunga yang berisi belasan tangkai tulip merah dan sepucuk
kertas kecil di atasnya. Aku mengambil buket dari tangannya dan mengambil
kertas itu. “Bacalah,” katanya tenang. Aku membalik kertas itu.
Ingat tidak dengan janji kita dulu?
Hari ini aku mau menepati janji itu, makanya mau tidak berpacaran denganku?
Aku
tidak percaya dengan apa yang kubaca. Jantungku masih berdetak kencang sedangkan
hatiku seperti melompat kegirangan. “Ini…sungguhan? Aku tidak bermimpi kan?”
ucapku masih tidak percaya. Alley berjalan mendekatiku lalu memelukku begitu
saja. “Ini sungguhan,” bisiknya di telingaku,”Jadi apa jawabanmu?” Air mataku
mengalir dengan tenang, bukan karena sedih, tapi karena senang. “Iya, aku mau,”
jawabku dengan suara yang bergetar. Alley menatapku sukup lama, tampak tidak
percaya, lalu senyumnya mengembang begitu saja. “Ah,” serunya sambil
berjongkok. “Aku pikir kamu akan menolakku, melihat sikapmu akhir – akhir ini.
Syukurlah,” lanjutnya sebelum mendongak menatapku. “Besok aku boleh menjemputmu
kan? Bukan sebagai teman sejak kecil, tapi sebagai pacar. Ya?”
“Iya,”
jawabku dengan bahagia. Aku tidak menyangka kalau perasaanku akan terbalas. Ini
adalah hadiah terbaik yang aku terima, sangat mengagetkan memang, tapi seangat
membahagiakan juga…
****
“Alley,”
“Iya?”
“Kamu
pernah menemui ceceku di Taman Hijau?”
“Cecemu
memberitahumu?”
“Tidak,
Yuki melihat kalian. Katanya…kalian berpelukan,”
“Ah,
jangan salah paham. Itu hanya pelukan antar saudara saja,”
“Oh,
apa yang kalian bicarakan?”
“Aku
memberitahunya kalau sarannya untuk memberimu tulip merah berhasil, lalu aku
tanya sebaiknya apa yang harus aku beri pada hari ulang tahunmu sekaligus untuk
me’nembak’mu. Itu saja. Dia benar – benar tahu apa yang bisa membuatmu senang,
jadi aku minta saran padanya, tapi aku minta dia supaya tidak memberitahu
tentang diskusi itu,”
“Cuma
itu?”
“Cuma
itu. Itu Monica. Nanti pulang aku tunggu di depan kelasmu ya,”
“Iya,”
****
“Alley, menurutmu Ce Jilly cantik
tidak?”
“Cecemu?”
“Iya,”
“Tentu saja, dia juga terlihat
dewasa. Aku suka perempuan seperti itu,”
“Kamu suka ceceku?”
“Iya,”
“Bagaimana denganku? Kamu tidak
menyukaiku?”
“Tentu saja aku menyukaimu. Kamu ini
sudah seperti adik perempuanku yang berharga,”
“Berarti kamu menyukaiku sama
seperti kamu menyukai ceceku?”
“Iya,
seperti itulah,”
“Kalau begitu janjilah padaku satu
hal,”
“Apa?”
“Berjanjilah, kalau nanti kamu
menyukaiku lebih dari ceceku, kamu akan menjadikanku pacarmu. Bagaimana?”
“Ehm, baiklah. Kalau begitu sini
kelingkingmu… Aku berjanji akan menjadikan Kana sebagai pacarku kalau aku
menyukainya lebih dari Ce Jilly,”
“Janji harus ditepati, lho”
“Iya, tapi sepertinya itu tidak mungkin
terjadi,”
“Siapa bilang. Kita tidak akan tahu apa
yang akan terjadi di masa depan kan?”
THE
END…
Thank
you for reading….
I hope you like it….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar