Selasa, 08 Mei 2012

Red Tulip - The Confession


Cahaya matahari pagi merembes masuk dari sela – sela jendela kamarku. Benar – benar menyilaukan sekaligus menyebalkan. Aku tidak ingin pergi ke sekolah apalagi kalau bertemu Alley. Sejak Yuki memberitahuku semua yang dia lihat, aku selalu menghindari Alley. Dan sekarang sudah hari keenam aku menghindarinya, tepat saat hari ulang tahunku. Aku bangkit dari tempat tidur dengan malas dan melihat layar HP di meja pendek yang bersebelahan dengan tempat tidurku. Jam lima lewat tiga puluh tepat. Tanpa memedulikan waktu aku keluar dari kamar, mempersiapkan diri untuk ke sekolah dengan malas.
****
            “Kana,” Aku mendengar suara di dekatku.
            “Kana,” suara itu terdengar familiar.
            “KANA!” aku tersentak dan bangun dari tidur singkatku. Aku kebingungan melihat sekelilingku, tidak tahu di mana aku berada. Masih kebingungan, aku melihat Monica dengan wajahnya yang khawatir, langsung saja otakku bekerja lalu aku teringat kalau aku ada di kelasku. “Kamu tidak apa – apa? Mukamu pucat. Akhir – akhir ini kamu tidak seperti biasanya, ada apa? Kamu sedih karena tidak mendapat kiriman tulip lagi?” tanyanya sedikit bercanda. Ah, iya, sudah lima hari aku tidak mendapat kiriman tulip lagi. Aku hanya menggelengkan kepala dengan lemas dan tersenyum. Sepertinya responku tidak berhasil membuat Monica tenang, dia malah menjadi – jadi. “Kamu mau aku antar ke UKS? Atau kamu mau pulang? Ah, atau kita harus ke rumah sakit?” ucapnya seperti kesurupan. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya yang mondar – mandir di depanku. “Tenanglah, aku tidak apa – apa. Aku sehat, hanya sedikit mengantuk,” suaraku terdengar lemah saat keluar dari mulutku. Monica melihatku masih dengan wajah khawatirnya,”Yakin?” tanyanya penuh perhatian. Aku mengangguk lalu senyum mengembang di wajahnya. Dia memelukku lalu beralih ke mejanya, mengambil sesutau dari tasnya. “Ini, happy birthday,” ucapnya sambil menyerahkan kotak kecil berwarna merah dengan pita putih. Aku kaget dan menerimanya dengan senang hati. “Boleh kubuka?” dia membalas dengan anggukan penuh semangat. Saat kubuka hadiah kecil itu, aku terkejut melihat isinya. Sebuah gelang, berbentuk kepang, berwarna perak dan merah mengkilat ditambah bandulan berbentuk bintang merah terletak di tengah kotak itu. “Kau suka?” wajah Monica mendekat saat bertanya. “Tentu saja, thanks,” balasku dengan senyumku yang muncul begitu saja. “Untunglah. Sekarang kita punya sesuatu yang sama. Kemarin aku juga memberi Yuki gelang yang serupa, hanya warnanya saja yang beda. Nih,” dia menunjukkan gelang yang sama persis dengan yang kuterima, hanya warnanya perak dan biru. “Punyanya Yuki berwarna perak ungu,” aku mengangguk tanpa diminta. Tiba – tiba bel masuk terdengar nyaring menembus telinga kami, spontan aku dan Monica duduk di kursi masing – masing. Aku cukup senang menerima hadiah dari Monica pagi itu, meski aku lebih mengharapkan melihat setangkai tulip merah dengan catatan puitisnya di atas mejaku.
****
            “Eh, Alley kok tidak menampakkan batang hidungnya dari minggu lalu? Kamu tahu penyebabnya, Kana?” untuk kesekian kalinya, aku tersentak kaget dari lamunanku. “Apa?” tanyaku polos. Monica dan Yuki melihatku dengan khawatir,”Akhir – akhir ini kamu lebih sering melamun, kenapa?” tanya Monica dengan kekhawatiran lagi. Yuki memandangku dengan penuh perhatian seolah aku adalah bayi yang harus diasuhnya. Aku menggeleng dan melahap roti yang dari tadi kupegang. Kedua temanku itu akhirnya menyrah, mengetahui kalau aku tidak mau menjawab pertanyaan itu. Kami sedang berada di halaman sekolah, menyantap makanan di waktu istirahat, saat hal yang benar – benar tak terduga terjadi.
Lagu klasik yang tersiar dari setiap speaker pemberitahuan di sekolah berhenti begitu saja. Aku dan kedua perempuan di sebelahku spontan mendongak melihat speaker yang ada tidak jauh dari kami. “Tes…tes… Ehm, aku harap aku tidak mengganggu waktu istirahat kalian semua. Ah, namaku Mike dari kelas delapan tiga, bertugas sebagai pengawas ruang siaran hari ini, dan pada hari yang penting untuk seseorang, aku akan menyerahkan ruang siaran ini untuk seorang temanku selama lima menit,” suara laki – laki di speaker itu berhenti disusul suara laki – laki lain yang terdengar familiar di telingaku,”Ehm, ah, aku Alley dari kelas delapan tiga dan aku akan memakai ruang siaran ini selama lima menit. Ehm, pertama aku ingin meminta maaf pada seseorang yang tidak kutemui akhir – akhir ini, tapi itu semua karena aku menyiapkan semua ini, termasuk meminta ijin pada guru yang bertanggung jawab terhadap ruang siaran ini. Kedua, aku juga ingin meminta maaf kalau kamu tidak menemukan kejutan lagi setiap paginya sejak minggu lalu. Itu karena aku menabung untuk membeli hadiah untukmu hari ini, dan yang kumaksud dengan kejutan itu adalah tulip merah dan catatan kecil. Ya, aku yang meletakkan hadiah itu di mejamu, dan bisa kulihat kamu sangat menyukainya,” Jantungku berdegup kencang mendengarnya dan aku merasa pipiku memerah. Apa aku tidak salah dengar? Apa aku tidak sedang bermimpi? Apa ini benar – benar terjadi? “Ehm, dan yang ketiga untuk orang yang kumaksud, aku harap kamu mau menemuiku sekarang di ruang siaran ini sebelum waktuku habis,” Aku masih duduk dengan kaku, tidak beranjak dari posisiku. “Kana! Apa yang kamu lakukan? Ayo, sana temui pangeranmu!” seru Monica melihatku todak beranjak.
“Mungkin…dia hanya bercanda. Tunggu saja sebentar lagi, dia pasti akan bilang kalau dia hanya bercanda untuk hari ulang tahunku,” balasku gugup, hatiku tidak percaya akan apa yang keluar dari mulutku.
“Jangan bersikap seperti orang bodoh. Dia memanggilmu, dia menyiapkan ini semua. Kalau dia bercanda, lalu untuk apa dia memberimu tulip dan puisi – puisi romantisnya. Sudah cepat pergi sana,” paksa Monica. “Pergilah, Kana. Atau kamu akan menyesal nantinya,” tambah Yuki. Aku terdiam mendengar itu semua. Dalam kepalaku aku mendengar suara yang setuju akan hal itu, hatiku juga ingin agar aku segera menemui Alley, tapi otakku berkata yang lain. Akhirnya dengan sedikit harapan –sangat sedikit– aku beranjak dan mulai berlari ke ruang siaran. Seluruh orang yang ada di dalam sekolah melihatku seperti melihat sebuah drama televise. Aku sendiri merasa seperti berada di dalam drama itu sendiri. Kakiku bergerak sendiri menuju ke ruang siaran. Aku tiba di lorong yang penuh dengan murid – murid yang ingin tahu. Saat mereka melihatku, jalan langsung terbuka begitu saja untukku. Mereka melihatku, tertarik, saat aku melintas di depan mereka. Setibanya di depan ruang siaran, aku berhenti. Kakiku tidak mau melangkah lebih dari itu. Tanpa diminta, pintu ruang siaran terbuka dari dalam, sebuah tangan terulur menarikku ke dalam. Tubuhku seperti boneka saat ditarik, tidak menolak malah membiarkan itu terjadi. Di depanku, berdiri dengan postur seperti yang biasa kulihat, Alley menatapku dengan mata coklatnya. Aku membalas tatapannya dengan menjaga jarak. Dia bergerak mendekat sedangkan aku diam kaku. Kami berdiri dalam diam, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saat itu aku sadar kalau hanya kami berdua yang ada di dalam ruang itu. “Em,” aku terkejut mendengar suara Alley. Aku menatapnya saat dia menyerahkan sesuatu di depanku. Aku mentapnya dengan mata terbelalak, dengan tangan menutup mulutku. Alley menyerahkan buket bunga yang berisi belasan tangkai tulip merah dan sepucuk kertas kecil di atasnya. Aku mengambil buket dari tangannya dan mengambil kertas itu. “Bacalah,” katanya tenang. Aku membalik kertas itu.
Ingat tidak dengan janji kita dulu? Hari ini aku mau menepati janji itu, makanya mau tidak berpacaran denganku?
Aku tidak percaya dengan apa yang kubaca. Jantungku masih berdetak kencang sedangkan hatiku seperti melompat kegirangan. “Ini…sungguhan? Aku tidak bermimpi kan?” ucapku masih tidak percaya. Alley berjalan mendekatiku lalu memelukku begitu saja. “Ini sungguhan,” bisiknya di telingaku,”Jadi apa jawabanmu?” Air mataku mengalir dengan tenang, bukan karena sedih, tapi karena senang. “Iya, aku mau,” jawabku dengan suara yang bergetar. Alley menatapku sukup lama, tampak tidak percaya, lalu senyumnya mengembang begitu saja. “Ah,” serunya sambil berjongkok. “Aku pikir kamu akan menolakku, melihat sikapmu akhir – akhir ini. Syukurlah,” lanjutnya sebelum mendongak menatapku. “Besok aku boleh menjemputmu kan? Bukan sebagai teman sejak kecil, tapi sebagai pacar. Ya?”
“Iya,” jawabku dengan bahagia. Aku tidak menyangka kalau perasaanku akan terbalas. Ini adalah hadiah terbaik yang aku terima, sangat mengagetkan memang, tapi seangat membahagiakan juga…
****
“Alley,”
“Iya?”
“Kamu pernah menemui ceceku di Taman Hijau?”
“Cecemu memberitahumu?”
“Tidak, Yuki melihat kalian. Katanya…kalian berpelukan,”
“Ah, jangan salah paham. Itu hanya pelukan antar saudara saja,”
“Oh, apa yang kalian bicarakan?”
“Aku memberitahunya kalau sarannya untuk memberimu tulip merah berhasil, lalu aku tanya sebaiknya apa yang harus aku beri pada hari ulang tahunmu sekaligus untuk me’nembak’mu. Itu saja. Dia benar – benar tahu apa yang bisa membuatmu senang, jadi aku minta saran padanya, tapi aku minta dia supaya tidak memberitahu tentang diskusi itu,”
“Cuma itu?”
“Cuma itu. Itu Monica. Nanti pulang aku tunggu di depan kelasmu ya,”
“Iya,”
****
“Alley, menurutmu Ce Jilly cantik tidak?”
            “Cecemu?”
            “Iya,”
            “Tentu saja, dia juga terlihat dewasa. Aku suka perempuan seperti itu,”
            “Kamu suka ceceku?”
            “Iya,”
            “Bagaimana denganku? Kamu tidak menyukaiku?”
            “Tentu saja aku menyukaimu. Kamu ini sudah seperti adik perempuanku yang berharga,”
            “Berarti kamu menyukaiku sama seperti kamu menyukai ceceku?”
 “Iya, seperti itulah,”
            “Kalau begitu janjilah padaku satu hal,”
“Apa?”
“Berjanjilah, kalau nanti kamu menyukaiku lebih dari ceceku, kamu akan menjadikanku pacarmu. Bagaimana?”
“Ehm, baiklah. Kalau begitu sini kelingkingmu… Aku berjanji akan menjadikan Kana sebagai pacarku kalau aku menyukainya lebih dari Ce Jilly,”
“Janji harus ditepati, lho”
“Iya, tapi sepertinya itu tidak mungkin terjadi,”
“Siapa bilang. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan kan?”

THE END…


Thank you for reading….
I hope you like it….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar